Spirit Of Banten : Edisi Harapan Baru di Tanah Jawara
Kredit Poto : @das albantani dan yoyo budiman
https://www.youtube.com/channel/UCnif-azGVIuo_xOYHUgtbAA
Tanggal 11 Januari 2017 kemarin, telah diadakan Saresehan Group WA Forum
Rembuk Kesultanan Banten di Resto Frangipani Serang Banten antara Sultan Banten
ke 18 Ratubagus Bambang Wisanggeni dengan Tokoh Masyarakat, Budayawan,
Birokrat, Seniman, Masyarakat, Pengusaha dan Wartawan. Sudah lama sekali kami
menunggu di pesisir Teluk Banten.
Pesisir Teluk Banten, Sebuah peradaban yang dulunya sempat jaya dan
menjadi pusat perekonomian jaman Kesultanan Banten. Di sana hilir mudik
kapal-kapal dagang Saudagar dari Timur Tengah, Asia dan Eropa.
Tak terbayangkan ramainya pelabuhan pada saat itu. Kanal dan benteng pun
di bangun sebagai infrastruktur pendukung perdagangan. Tidak ketinggalan
infrastruktur jalan dan kereta api yang bisa mempercepat laju perputaran barang
dan jasa.
Pertanian dan perkebunan pun berkembang dengan pesat seiring dengan dibangunnya sistem pengolahan air dan pengairan oleh salah satu Sultan Banten yang dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa.
Pertanian dan perkebunan pun berkembang dengan pesat seiring dengan dibangunnya sistem pengolahan air dan pengairan oleh salah satu Sultan Banten yang dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa.
Jadilah wilayah Banten, selain pusat perdagangan internasional, juga
sebagai lumbung pangan pada jaman dan wilayah kekuasaannya. Tak heran, Banten
pada saat itu menjadi daya tarik bagi para perantau untuk mencari penghidupan.
Maka terbentuklah kampung-kampung yang sesuai dengan etnis atau mata
pencahariannya. Ada kampung Dermayon untuk para perantau dari Indramayu yang
bekerja sebagai penggarap sawah. Ada kampung Pecinan untuk etnis Tionghoa yang
berprofesi sebagai pedagang. Kampung Bugis di pinggiran kali Karangantu yang
berprofesi sebagai nelayan dan kampung Demang di pinggir sungai Cengkok sebagai
petambak dan nelayan. Juga kampung Pamarican dan Padek yang berprofesi sebagai
penggarap sawah juga.
Untuk kerukunan agama, Banten bisa menjadi salah satu contoh dengan
masih berdirinya Kelenteng Avalokitesvara yang tidak begitu jauh dengan Masjid
Agung Banten dan situs Masjid Pecinan.
Namun, sejak VOC bernafsu ingin menguasai jalur perdagangan di Banten
dengan rakusnya dan segala cara dilakukan, maka Banten mengalami kemunduran
peradaban yang ditandai dengan hancurnya simbol-simbol Kesultanan. Keluarga
Sultan diadu domba dan dibuang, juga keratonnya dihancurkan sehingga praktis
tidak ada lagi sisa-sisa kejayaan Kesultanan Banten.
Dan kini, bekas-bekas kerakusan VOC itu masih terasa di Banten walaupun
sudah menjadi daerah otonom sejak tahun 2000 dengan menjadi provinsi yang ke
33. Nafsu ingin berkuasa dan adu domba masih bisa dilihat antara kenadziran,
para dzuriat dan pemerintah daerah. Wilayah Banten yang selalu disebut Banten
Lama semakin semerawut. Sampah di mana-mana, sekeliling masjidnya kumuh dan
kotor. Pengemis selalu setia duduk disetiap pintu masuk Masjid Agung. Tidak
ketinggalan anak-anak yang dibiarkan menjadi peminta-minta. Dan pedagang kaki
lima pun melengkapi kesemerawutan kompleks Banten Lama. Berbagai bantuan
pemerintah menata Banten Lama yang menghabiskan dana milyaran rupiah sepertinya
sia-sia dan malah menambah kekumuhan dan merusak makna situs Banten Lama
sebagai kawasan cagar budaya.
Bagaimana dengan wilayah Karangantu yang menjadi pelabuhan internasional
jaman Kesultanan? Jawabannya beda tipis dengan Banten Lama. Kini kanal, sungai
dan teluknya dangkal dan mengalami pencemaran. Sedimentasinya sangat tinggi
sehingga pulau Dua/burung yang dulunya terpisah, sekarang sudah menyatu dengan
pesisir teluk Banten. Hutan bakaunya semakin menipis bahkan di beberapa tempat
sudah habis sehingga pesisirnya mengalami abrasi yang sangat tinggi.
Kehidupan nelayannya sangat memprihatinkan. Apa yang bisa diharapkan
dari nelayan yang hanya bermodalkan keberanian sementara perahu dan
alat-alatnya merupakan pinjaman dari rentenir dan tengkulak? Ditambah cuaca
ekstrim sebagai dampak dari pemanasan global sebagai pelengkap penderita.
Jadilah nelayan itu bertambah miskin secara struktur dan sistem. Kampungnya pun
tambah reyot dan berdesak-desakan sehingga terpaksa mengambil lahan di bantaran
kali dan saluran. Tempat pelelangan ikannya pun mati suri, sedikit sekali yang
di jual karena di tengah laut sudah ada yang membeli atau memang menjadi bagian
terbesar para pemilik modal sehingga tersisa untuk di makan sendiri.
Di tahun 90an sampai 2000, pelabuhan itu ramai lagi, tapi bukan untuk
perdagangan rempah-rempah atau ikan. Melainkan perdagangan kayu dari Sumatera
dan Kalimantan baik yang legal maupun illegal. Namun waktu yang singkat itu
sudah cukup untuk menambah keterpurukan pelabuhan Karangantu dan Banten Lama.
Degradasi lingkungan semakin bertambah parah dengan bergantinya alih fungsi
sawah yang produktif di pinggir jalan Banten menjadi panglong-panglong kayu.
Dulu, masih bisa kita nikmati jalanan mulus yang kecil dengan pohon-pohon
asemnya yang sudah berusia ratusan tahun berjejer di pinggir jalan seakan-akan
mengarahkan dan meneduhkan para pengguna jalan. Sejauh mata memandang hanya
hamparan sawah yang terlihat dengan gradasi warnanya dari mulai coklat hijau
dan kuning. Terkadang di tengahnya ada komplek makam Sultan atau kerabatnya,
sedangkan perkampungannya terletak di belakang persawahan dan sisi kali Banten.
Namun sekarang, semua itu sudah tertutup panglong kayu, rumah tinggal, ruko dan
perumahan.
Sejarah itu akan berulang, sejak tahun 2008, kami coba mengumpulkan kembali sisa-sisa kejayaan yang terserak, merencanakan Visi Banten sampai tahun 2025. Memulai membangun model kampung ramah lingkungan, mulai membuat rencana tata bangunan dan lingkungan dari pelabuhan Karangantu sampai koridor jalan Banten Lama, membuat revitalisasi dan mulai membangun dermaga, pedestrian, taman, gazebo, jalur sepeda dan ruang terbuka hijau di bantaran kali Karangantu. Juga kami mulai menghidupkan kembali budaya dan tradisi dengan mengadakan kegiatan, salah satunya adalah hari habitat dan membangun Akademi Bambu Nusantara di Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan.
Selamat datang Kanjeng
Sultan Ratubagus Bambang Wisanggeni, Sultan Banten ke 18. Kutunggu di pesisir
Teluk Banten, di bawah Menara Masjid Agung Banten. Mari kita susun kembali
kejayaan Banten.Sejarah itu akan berulang, sejak tahun 2008, kami coba mengumpulkan kembali sisa-sisa kejayaan yang terserak, merencanakan Visi Banten sampai tahun 2025. Memulai membangun model kampung ramah lingkungan, mulai membuat rencana tata bangunan dan lingkungan dari pelabuhan Karangantu sampai koridor jalan Banten Lama, membuat revitalisasi dan mulai membangun dermaga, pedestrian, taman, gazebo, jalur sepeda dan ruang terbuka hijau di bantaran kali Karangantu. Juga kami mulai menghidupkan kembali budaya dan tradisi dengan mengadakan kegiatan, salah satunya adalah hari habitat dan membangun Akademi Bambu Nusantara di Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan.
https://www.youtube.com/channel/UCnif-azGVIuo_xOYHUgtbAA
Comments