Spirit Of Banten : Edisi Cibedug, Sepotong Peradaban Atlantis di Lereng Gunung Halimun 2

Bagian 2

Saya abadikan dengan kamera hp spot-spot terbaik, termasuk aktivitas para petani dan keluarganya yang berjalan pulang ke rumahnya karena hari sudah menjelang maghrib. Akhirnya, kenikmatan perjalanan itu bertambah besar karena kaki Alang sebelah kiri sobek kena batu tajam, terpeleset saat mau mencuci kaki di pancuran dinding tanah. Saya buka ransel yang isinya perlengkapan P3K. Setelah dicuci, saya semprot dengan cuka bambu dan ditaburi arang bambu lalu dibalut memakai kain kasa. Sakittttttt sakittttt, jerit Alang menyayat hati saya. Kadang ada rasa menyesal juga membawa Alang ke tempat yang sangat ekstrim ini. Namun, ini adalah tantangan hidup, harus diselesaikan dan sampai di Cibedug! Setelah diobati, Alang saya gendong. Wow, dah lama tidak ngangkat beban 50 kg sejak selesai kuliah keluar masuk hutan dan naik turun gunung. Meskipun daya tahan tubuh sudah menurun karena faktor usia dan gaya hidup, saya tetap gendong untuk menambah mentalnya yang sempat down dan diimbangi dengan istirahat. Untuk menambah semangat Alang, saya ajak menyanyi, mengaji dan baca sholawat. Mental Alang bertambah down kala hari sudah mulai gelap dan rombongan paling depan dan belakang terpisah cukup jauh. Sepanjang perjalanan, Alang tidak henti-hentinya bertanya kenapa hanya berdua saja, yang lain pada kemana, sampai kapan sampainya, Alang tidak mau lagi seperti ini, ada jalan lain tidak, nanti pulangnya apakah harus melalui jalan ini lagi. Bertubi-tubi Alang menanyakan terus dan saya dengan sabar menjelaskan dan meyakinkan bahwa semuanya akan indah pada waktunya, sambil saya menceritakan tentang perjuangan Jenderal Soedirman yang melakukan perang gerilya melawan penjajah. Ini masih belum seberapa, dulu Pak Dirman itu tidak hanya sobek kakinya, hatinya yang sobek, sakit dan harus ditandu, berbulan-bulan keluar masuk hutan dalam keadaan sakit dan sulit mendapatkan makanan. Kita, yang sekarang melakukan perjalanan ini, tinggal sejam lagi sampai di Kampung Cibedug. Saya yakinkan Alang bahwa bentar lagi akan sampai karena sudah ada tiang listrik dan di bawah ada cahaya lampu dan suara adzan maghrib. Perjalanan bertambah sulit karena senter yang saya bawa lampunya redup, ditambah hujan masih terus mengguyur, sulit membedakan mana jalanan berlumpur mana yang berbatu dan kadang harus menggendong Alang. Kaki pun sudah berasa ada yang tergores. Di puncak jalan yang diduga sebagai puncak terakhir, saya liat lampu-lampu rumah penduduk. Semangat Alang bertambah begitu saya kasih tau itu kampung yang kita tuju. Namun, lagi-lagi saya harus berhati-hati karena ternyata jalanannya menurun cukup curam, berlumpur dan gelap. Sambil menggendong Alang, saya coba berjalan dengan meraba-raba dan berharap tidak ada batu-batu. Bresssetttt! Saya pun terpeleset bersama Alang. Sepertinya telapak tangan saya luka, Alangpun meminta saya supaya jangan jatuh, tetap semangat, Abah jangan sakit. Ya gantian Alang yang menyemangati saya. Ya sudah lang, kita turunnya gaya perosotan saja yah! Akhirnya kami meluncur dengan tetap meraba-raba supaya tidak terkena benda-benda yang tajam. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga di Kampung Cibedug, menjelang 'isya. Rombongan pertama menyambut kami di rumah Kaolotan Cibedug dan tak lupa mengucapkan selamat kepada Alang yang berhasil melewati perjalanan yang sangat ekstrim. Setelah istirahat sebentar, Alang dibersihkan badan dan kakinya. Sambil menunggu mie rebus yang dimimpikan selama perjalanan, Alang menanyakan apakah bisa mengakses wifi? Tanyakan ke orangnya (maksudnya yang punya rumah). Saya jelaskan bahwa ini di kampung pedalaman, jangankan akses wifi, sinyal saja tidak ada. Ya sudah kalau begitu minjam tabletnya saja, Alang mau main game saja. Rombongan terakhir pun datang, setelah bersih-bersih semua, sambil menunggu hidangan makan malam, teman-teman ada yang menonton pertandingan sepakbola semi final antara Indonesia melawan Vietnam, ada juga yang bersih-bersih dan istirahat sambil cerita-cerita perjalanan yang baru dilewati. Akhirnya, hidangan malam khas Kasepuhan Banten Kidul pun tersaji. Sebelum makan, saya selaku Ketua IAI Banten, menyampaikan maksud dan tujuan rombongan datang ke Cibedug. Setelah itu kami makan bersama-sama. Sudah lama sekali tidak merasakan gurihnya nasi Banten Kidul dan ikan asinnya. Nikmat sekali setelah 5 jam melalui jalan yang sangat ekstrim, gelap dan membawa Alang dengan telapak kaki kirinya yang sobek. Ternyata rumah yang kami singgahi itu adalah rumah Olot Bajri, dan Udin, sang menantu Olot dari Kerawang bercerita tentang Situs Cibedug yang diduga usianya lebih tua dibanding Situs Gunung Padang, yaitu sekitar 1500 SM. Bulan kemarin, didatangi oleh peneliti dari Jepang, sampai dua kali dan membawa batu arang untuk diteliti. Udin pun bertanya, tujuan kami ke Cibedug itu untuk ziarah atau untuk apa. Saya bilang hanya untuk wisata. Karena kalau untuk ziarah, akan disiapkan ritualnya. Disebut Cibedug, dikarenakan ada bunyi seperti bedug diwaktu-waktu tertentu seperti menjelang berbuka puasa atau penanda waktu untuk merayakan 'Idhul Fitri. Namun, bunyi bedug ini tidak akan terasa jika kita mempunyai niat untuk mendengar bunyi bedug. Sedangkan Ci itu artinya air (dalam bahasa Sunda 'cai'), karena di sekelilingnya ada sungai. Masih menurut Udin, Situs Cibedug ini seluas 2 ha, terdiri dari susunan batu-batu yang membentuk segi empat berundak 9 dengan bagian puncaknya mengecil seperti pyramid. Di situs juga terdapat batu-batu lonjong, batu kursi, batu tumpeng, batu tulis dan sumur. Semua aktivitas yang akan dilakukan di situs harus seizin kaolotan dulu. Sebab, kalau belum mendapatkan izin, akan terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Ada yang memotret situs tanpa izin, hasilnya poto itu buram atau gelap. Ada yang mengambil batu yang ada di situs, maka orang itu akan mengalami sakit dan baru sembuh tatkala benda yang diambilnya dikembalikan. Lalu saya tanyakan, apakah Olot Baji bersedia diajak ngobrol malam ini? Ya, bisa, dengan senang hati beliau menemani, tapi memakai bahasa Sunda khas Kasepuhan Banten Kidul. Saya pun bergeser ke ruang sebelah, tempat makan malam bersama, saya ajak teman-teman IAI untuk ikut malam mingguan bersama Olot Baji dan jajarannya, bercerita tentang asal muasal Cibedug. Olot Baji mulai bercerita dengan logat Sunda Banten Kidul yang memang terasa asing bagi saya, bahkan ada yang sulit dimengerti. Intinya, Situs Cibedug yang terletak di depan rumah Olot, tidak jauh dari arah masuk ke Kampung Cibedug, itu merupakan tanah titipan yang berfungsi sebagai keseimbangan alam. Olot Baji merupakan Olot generasi ketiga yang turun temurun dan sudah beragama Islam. Saat ini, Kasepuhan Cibedug memiliki jumlah penduduk 130 Kepala Keluarga. Mereka berasal dari Sajira, sekitar awal abad ketujuh, masih di wilayah Lebak Banten. Kemudian dari Sajira, sekitar lima abad kemudian, menyebar ke beberapa wilayah di lereng Gunung Halimun dikarenakan bertambahnya jumlah keturunan. Salah satunya di kawasan yang ada aliran sungainya dan terdengar seperti bunyi bedug, jadilah kawasan yang disinggahi diberi nama Cibedug.

















https://www.youtube.com/playlist?list=PLrOL3iBm5pVJMDvzaV4OMSIELyWew0RIA

Comments

Popular posts from this blog

Pepadone Wong Serang, Kamus Base Jawe Serang

Asal Usul Jalan Kiyai Haji Sulaiman di Kota Serang Banten

Kisah Gantarawang dan Abah Manta Sang Kuncen Terakhir