Spirit Of Banten : Edisi Cibedug, Sepotong Peradaban Atlantis di Lereng Gunung Halimun 1

Bagian 1

Hujan gerimis menyambut kami kala mengawali jalan kaki menuju Situs Cibedug Kasepuhan Banten Kidul. Perjalanan kali ini mengingatkan saya kepada para pahlawan kita yang melakukan perang gerilya melawan penjajah, meskipun yang saya lakukan bersama anak saya yang berumur 6 tahun dan teman-teman IAI Banten + hanya berdurasi sekitar 10 jam. Waktu 5 jam menuju ke Cibedug dari Citorek Tengah untuk jalan kaki ini memberikan kesan yang sangat mendalam bagi saya, terutama anak saya iLaLang Jagad Boemi Syuhada (Alang) yang baru melakukan jalan kaki pertama kali dengan medan yang sangat ekstrim. Saat mau berangkat pun, pak Jarot Jaro Citorek Tengah sudah mewanti-wanti supaya Alang jangan ikut, ditambah lagi hujan gerimis. Namun saya tetap mengajak Alang untuk ikut sebagai pengalaman yang sangat berharga untuk bekal hidup nanti. Ditambah, Alang pun sangat antusias untuk mengikuti adventure ini karena ingin melihat situs jaman purbakala yang sebelumnya sudah saya ceritakan. Sepanjang perjalanan menuju Cibedug pun saya ceritakan tentang kearifan lokal Kasepuhan Banten Kidul seperti pengaturan ruang kawasannya yang memiliki pola tanah titipan, tanah tutupan dan tanah cadangan (olahan). Juga upacara adat seren tahun dan leuit tempat menyimpan padi hasil panen. Saat memulai perjalanan, Alang saya ambil potonya dengan background leuit. Melewati jembatan gantung yang di bawahnya mengalir sungai yang arusnya deras sekali. Melewati perkampungan dengan jalan berbatu yang belum di aspal, ketika melihat pos kamling yang ada dinding kepala macannya, saya potret Alang sebagai penanda. Baru melewati perkampungan, kami harus melewati rintangan pertama, yaitu jalan lumpur sepanjang kira-kira 50 m dengan ke dalaman mulai 20 cm - 50 cm. Terpaksa harus buka alas kaki dan mulai berjalan dengan sangat berat sekali. Selesai jalan berlumpur itu, di depan mata sudah menanti jalan tanah menanjak dan licin terkena air hujan. Sebelum memulai jalan, Alang minta cuci dulu di pancuran sawah. Segar sekali airnya,di belakang dan samping berderet Leuit-Leuit tempat menyimpan padi yang berdekatan dengan hamparan sawah. Bagi saya, perjalanan ini hanyalah sebuah penyegaran kembali saat saya masih aktif memfasilitasi pembangunan desa adat di Banten Kidul dari tahun 2009-2012. Tapi tidak untuk seorang anak yang berusia 6 tahun, ini adalah perjalanan yang sangat ekstrim dan di luar perkiraan saya dan teman-teman yang lain. Tim survey, sekitar 4 bulan sebelumnya, mengatakan jalannya belum dilebarkan, masih jalan setapak yang nyaman dan aman. Sekarang, sedang ada pelebaran jalan supaya kendaraan minimal roda 4 bisa mengakses kawasan Cibedug. Saat ini baru tahapan pembukaan lahan dan wilayah-wilayah tertentu saja yang sudah diberi perkerasan dasar menggunakan batu gunung yang berwarna hitam pekat dan tajam karena baru dipecah. Dapat dibayangkan, ekstrimnya jalan menuju Cibedug yang harus naik turun bukit, ditambah lagi hujan yang terus menerus mengiringi perjalanan spiritual menuju Cibedug. Di sepanjang jalan menuju puncak pertama, saya bertemu para petani yang mau pulang, dan ditanya mau kemana, Cibedug! Jawab saya, sampai Alang pun hapal tujuan kami, dan selanjutnya, Alang lah yang menjawab. Mereka pun merasa kagum terhadap Alang yang dalam pikirannya mengatakan kok bisa anak kota diajak jalan yang jauh dengan jalanan yang licin dan berlumpur. Sekitar 2 jam perjalanan, saya baru sadar jika ransel yang isinya peralatan sholat dan baju ganti tidak di bawa, karena saya masih berpikir bisa bolak balik dan menginapnya di Citorek Tengah. Mau minta tolong ada yang balik lagi juga tidak tega karena jalannya sangat ekstrim. Ya sudah ini adalah resiko petualangan. Untuk menghibur kekecewaan saya membawa ransel tersebut, saya coba mendata rumpun bambu menggunakan aplikasi bambunusa. Namun, hp yang ada bambunusa tidak bisa digunakan karena internal storeagenya full. Saya coba pindahkan ke eksternal storeage, ternyata membutuhkan waktu yang lama, ditambah cuacanya yang hujan menjadi tidak nyaman. Jadilah rumpun bambu itu hanya didokumentasikan memakai camera hp yang lain. Ya sudah ini adalah resiko petualangan. Perjalanan pun dilanjutkan dengan medan yang bertambah berat dan gerimis yang semakin awet. Naik turun bukit, meliak liuk seperti ular python raksasa, kadang berbatu tajam, kadang berlumpur dengan pemandangan yang luar biasa indah dari puncak-puncak bukit yang saya tempuh.


































https://www.youtube.com/playlist?list=PLrOL3iBm5pVJMDvzaV4OMSIELyWew0RIA

Comments

Popular posts from this blog

Pepadone Wong Serang, Kamus Base Jawe Serang

Kisah Gantarawang dan Abah Manta Sang Kuncen Terakhir

Asal Usul Jalan Kiyai Haji Sulaiman di Kota Serang Banten