Spirit Of Banten : Edisi Cibedug, Sepotong Peradaban Atlantis di Lereng Gunung Halimun 4
Bagian 4
Memasuki pelataran berikutnya, terdapat bangunan
dari bambu yang di dalamnya ada batu lonjong yang ditempatkan seperti batu
nisan. Di sekitar batu tersebut banyak terdapat koin-koin yang dilemparkan oleh
peziarah. Naik lagi di pelataran berikutnya, yaitu trap ke empat, terdapat batu
yang disebut batu kursi dan batu lonjong dengan posisi tidur yang disebut batu
lingga. Akses tangga menuju puncak situs, yaitu trap kesembilan, berada di
tengah-tengah (sentral/as) situs. Nah di trap keempat ini, di tengah-tengah
aksesnya sebelum naik tangga ke trap kelima sampai kesembilan, terdapat ruang
seperti tempat menyimpan sesajen yang membagi akses ke kiri dan ke kanan situs.
Sampailah saya di puncak situs yaitu trap yang kesembilan. Melihat sekeliling
situs dari puncak, nampak sekali situs ini bentuknya simetri segi empat yang
disusun berundak, semakin ke atas semakin mengecil. Namun, kondisi saat ini,
kawasannya sudah tidak simetris lagi karena di sisi sebalah kanan dari gerbang
situs batu menhir ada sungai yang disebut Cibedug. Mungkin ini akibat perubahan
alam yang terjadi ribuan tahun yang lalu. Di setiap sudut segi empat trapnya
terdapat batu lonjong dengan posisi tidur ke arah sudutnya. Susunan trapnya
juga dari batu-batu kali/gunung yang belum diolah. Mungkin ini jadi salah satu
petunjuk bahwa budaya orang-orangnya lebih primitif dibanding budaya
orang-orang di jaman Situs Gunung Padang. Sayang sekai batere Drone sudah
habis, padahal bisa didokumentasikan dengan Drone meskipun banyak pepohonan.
Selesai mendokumentasikan kawasan Cibedug menggunakan HP, saya turun menuju
situs batu tumpeng, batu tulis dan sumur purba yang letaknya terpisah dari
pelataran Situs Cibedug. Dinamakan batu tumpeng, karena bentuknya seperti
tumpeng atau berbentuk kerucut. Menurut Udin, sejak ditemukannya batu tumpeng,
kebutuhan pangan masyarakat Cibedug tercukupi semua dan hasil panennya pun
melimpah meskipun setahun sekali dengan kualitas yang sangat baik sekali
sehingga bisa bertahan puluhan tahun yang disimpan di leuit. Selanjutnya adalah
situs batu tulis, yaitu berupa batu dengan dimensi kira-kira 90 cm x 90 cm,
bentuknya sudah tidak beraturan dan berlumut. Di setiap sisinya terdapat
goresan membentuk huruf atau pola aksara yang sama sekali belum bisa diartikan.
Mungkin ini bisa menjadi salah satu petunjuk untuk mengetahui usia dari Situs
Cibedug ini. Terakhir, adalah situs sumur dengan letaknya di pinggir sungai
Cibedug. Saat ini sumurnya sudah dangkal, mungkin karena tertimbun material
pohon dan tanah. Selesai sudah eksplorasi saya terhadap Situs Cibedug. Saya
kembali ke gerbang situs melalui akses yang lainnya. Mencoba mencari sesuatu
yang bisa menambah petunjuk keberadaan situs. Sayang waktunya sempit sekali,
jadi saat ini cukup untuk melakukan eksplorasi pertama. Kami pun bersiap kembali
ke Citorek. Sambil menunggu teman-teman yang lain berkemas, saya ajak Alang
untuk belanja di warung kampung untuk bekal diperjalanan pulang. Untuk makan
siangnya, saya sudah siapkan nasi, telor, mentimun dan mie yang dibungkus daun
pisang dan dimasukkan ke kotak p3k. Lumayanlah, sarapan pagi dibuat bekal buat
perjalanan pulang. Pokoknya, perjalanan pulang ini harus lebih nikmat dibanding
perjalanan kemarin. Selesai pamitan dan berdo'a, kamipun berjalan bebaduyan ke
arah Citorek. Hujan gerimis masih mengiringi langkah kami pulang. Saya katakan
ke Alang, kita napak tilas jalur yang dilewati malam-malam dengan gaya
prosotan. Jalur tersebut benar-benar sulit ternyata, kali ini lebih sulit
karena posisinya tanjakan. Lumpurnya masih dalam karena terus diguyur hujan.
Terpaksa Alang saya gendong lagi, tapi kali ini lebih nyaman karena saya
memakai sepatu meskipun karet bawahnya sudah lepas. Teman-teman IAI yang lain
mau menolong saya membawakan ransel, tapi saya tolak karena buat keseimbangan
saya. Perjalanan pulang kali ini lebih nikmat dibanding perjalanan pergi.
Meskipun hari masih terang benderang dan hujan terus mengguyur, tetap saja
tantangan itu selalu ada. Setiap melalui jalan yang berlumpur, Alang selalu ku
gendong karena telapak kaki kirinya yang sobek terasa sakit jika terbenam di
lumpur. Alang pun terlihat putus asa melihat jalannya yang bertambah sulit.
Untuk menambah semangat, saya ajak menyanyikan lagu-lagu kesukaan Alang seperti
lagu yang terlupakan dan pesawat tempurnya Iwan Fals, lagu-lagu perjuangan
serta baca sholawat dan mengaji Alqur'an surat pendek. Saat rasa lelah itu
memuncak, saya ajak istirahat, sambil menikmati makanan yang saya siapkan dari
Cibedug. Untung saya bawa bekal sarapan pagi yang dimasukkan ke dalam kotak P3K
dan dibungkus daun pisang. Nikmat sekali nyuapin Alang di puncak jalan dengan
pemandangan alam lereng Gunung Halimun. Puncak dari tantangan perjalanan pulang
ini adalah turunan terakhir sebelum Kampung Citorek. Alang saya minta jalan
dengan gaya prosotan. Begitu sampai di jalan sebelum jembatan, Alang dan saya
jalan dengan gaya merangkak dan merayap karena lumpurnya bertambah dalam dalam
jika jalan biasa. Sedangkan teman-teman lain ada yang melambung menyebrang
sungai dan lewat pematang sawah. Di sini, alas kaki dilepas semua dan tidak
bisa dipakai karena penuh dengan lumpur. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai
juga di Rumah Pak Jarot. Kami bersih-bersih di sungai, setelah sholat maghrib
kami pamit untuk kembali ke Jakarta. Terima kasih Cibedug, ini adalah
perjalanan spiritual yang sangat luar biasa, terutama bagi seorang anak yang
baru berusia 6 tahun. Dan bagi saya, perjalanan ini adalah sebuah syare'at
untuk mengeluarkan penyakit-penyakit yang ada di badan saya. Sampai jumpa di
perjalanan berikutnya. Cerita ini kupersembahkan untuk anak-anakku : 1. Belati
Jagad Bintang Syuhada 2. iLaLang Jagad Boemi Syuhada 3. Gemma Jagad Bulan
Syuhada (Tamat.....)
https://www.youtube.com/playlist?list=PLrOL3iBm5pVJMDvzaV4OMSIELyWew0RIA
Comments