Serang, The Land of Jawara (Serang, Tanah Para Jawara)

Pesisir Teluk Banten, Sebuah peradaban yang dulunya sempat jaya dan menjadi pusat perekonomian jaman Kesultanan Banten. Di sana hilir mudik kapal-kapal dagang Saudagar dari Timur Tengah, Asia dan Eropa. Tak terbayangkan ramainya pelabuhan pada saat itu. Kanal dan benteng pun di bangun sebagai infrastruktur pendukung perdagangan. Tidak ketinggalan infrastruktur jalan dan kereta api yang bisa mempercepat laju perputaran barang dan jasa. Pertanian dan perkebunan pun berkembang dengan pesat seiring dengan dibangunnya sistem pengolahan air dan pengairan oleh salah satu Sultan Banten yang dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa.
Jadilah wilayah Banten, selain pusat perdagangan internasional, juga sebagai lumbung pangan pada jaman dan wilayah kekuasaannya. Tak heran, Banten pada saat itu menjadi daya tarik bagi para perantau untuk mencari penghidupan. Maka terbentuklah kampung-kampung yang sesuai dengan etnis atau mata pencahariannya. Ada kampung Dermayon untuk para perantau dari Indramayu yang bekerja sebagai penggarap sawah. Ada kampung Pecinan untuk etnis Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang. Kampung Bugis di pinggiran kali Karangantu yang berprofesi sebagai nelayan dan kampung Demang di pinggir sungai Cengkok sebagai petambak dan nelayan. Juga kampung Pamarican dan Padek yang berprofesi sebagai penggarap sawah juga.
Untuk kerukunan agama, Banten bisa menjadi salah satu contoh dengan masih berdirinya Kelenteng Avalokitesvara yang tidak begitu jauh dengan Masjid Agung Banten dan situs Masjid Pecinan. Namun, sejak VOC bernafsu ingin menguasai jalur perdagangan di Banten dengan rakusnya dan segala cara dilakukan, maka Banten mengalami kemunduran peradaban yang ditandai dengan hancurnya simbol-simbol Kesultanan. Keluarga Sultan diadu domba dan dibuang, juga keratonnya dihancurkan sehingga praktis tidak ada lagi sisa-sisa kejayaan Kesultanan Banten.
Dan kini, bekas-bekas kerakusan VOC itu masih terasa di Banten walaupun sudah menjadi daerah otonom sejak tahun 2000 dengan menjadi provinsi yang ke 33. Nafsu ingin berkuasa dan adu domba masih bisa dilihat antara Kenadziran, Para Dzuriat, Kesultanan dan Pemerintah Daerah. Wilayah Banten yang selalu disebut Banten Lama semakin semerawut. Sampah di mana-mana, sekeliling masjidnya kumuh dan kotor. Pengemis selalu setia duduk disetiap pintu masuk Masjid Agung. Tidak ketinggalan anak-anak yang dibiarkan menjadi peminta-minta. Dan pedagang kaki lima pun melengkapi kesemerawutan kompleks Banten Lama. Berbagai bantuan pemerintah menata Banten Lama yang menghabiskan dana milyaran rupiah sepertinya sia-sia dan malah menambah kekumuhan dan merusak makna situs Banten Lama sebagai kawasan cagar budaya.
Bagaimana dengan wilayah Karangantu yang menjadi pelabuhan internasional jaman Kesultanan? Jawabannya beda tipis dengan Banten Lama. Kini kanal, sungai dan teluknya dangkal dan mengalami pencemaran. Sedimentasinya sangat tinggi sehingga pulau Dua/burung yang dulunya terpisah, sekarang sudah menyatu dengan pesisir teluk Banten. Hutan bakaunya semakin menipis bahkan di beberapa tempat sudah habis sehingga pesisirnya mengalami abrasi yang sangat tinggi. Kehidupan nelayannya sangat memprihatinkan. Apa yang bisa diharapkan dari nelayan yang hanya bermodalkan keberanian sementara perahu dan alat-alatnya merupakan pinjaman dari rentenir dan tengkulak? Ditambah cuaca ekstrim sebagai dampak dari pemanasan global sebagai pelengkap penderita. Jadilah nelayan itu bertambah miskin secara struktur dan sistem. Kampungnya pun tambah reyot dan berdesak-desakan sehingga terpaksa mengambil lahan di bantaran kali dan saluran. Tempat pelelangan ikannya pun mati suri, sedikit sekali yang di jual karena di tengah laut sudah ada yang membeli atau memang menjadi bagian terbesar para pemilik modal sehingga tersisa untuk di makan sendiri.

Di tahun 90an sampai 2000, pelabuhan itu ramai lagi, tapi bukan untuk perdagangan rempah-rempah atau ikan. Melainkan perdagangan kayu dari Sumatera dan Kalimantan baik yang legal maupun illegal. Namun waktu yang singkat itu sudah cukup untuk menambah keterpurukan pelabuhan Karangantu dan Banten Lama. Degradasi lingkungan semakin bertambah parah dengan bergantinya alih fungsi sawah yang produktif di pinggir jalan Banten menjadi panglong-panglong kayu. Dulu, masih bisa kita nikmati jalanan mulus yang kecil dengan pohon-pohon asemnya yang sudah berusia ratusan tahun berjejer di pinggir jalan seakan-akan mengarahkan dan meneduhkan para pengguna jalan. Sejauh mata memandang hanya hamparan sawah yang terlihat dengan gradasi warnanya dari mulai coklat hijau dan kuning. Terkadang di tengahnya ada komplek makam Sultan atau kerabatnya, sedangkan perkampungannya terletak di belakang persawahan dan sisi kali Banten. Namun sekarang, semua itu sudah tertutup panglong kayu, rumah tinggal, ruko dan perumahan.
Sejarah itu akan berulang, sejak tahun 2008, kami coba mengumpulkan kembali sisa-sisa kejayaan yang terserak, merencanakan Visi Banten sampai tahun 2025. Memulai membangun model kampung ramah lingkungan, mulai membuat rencana tata bangunan dan lingkungan dari pelabuhan Karangantu sampai koridor jalan Banten Lama, membuat revitalisasi dan mulai membangun dermaga, pedestrian, taman, gazebo, jalur sepeda dan ruang terbuka hijau di bantaran kali Karangantu. Juga kami mulai menghidupkan kembali budaya dan tradisi dengan mengadakan kegiatan, salah satunya adalah Festival Ramadhan Kesultanan Banten (FRKB). Kutunggu di pesisir Teluk Banten, di bawah Menara Masjid Agung Banten. Mari kita susun kembali kejayaan Banten sehingga Serang kembali menjadi Tanah Jawara di segala bidang.
https://www.youtube.com/channel/UCnif-azGVIuo_xOYHUgtbAA

Comments

Pemainayam.net said…
Konten Artikel Yang Menarik...
Memiliki Kesamaan Dengan Blog Pemainayam.vip ..
Bahas Membahas Tentang Ayam Jago Yang Cukup Bermanfaat..

Popular posts from this blog

Pepadone Wong Serang, Kamus Base Jawe Serang

Asal Usul Jalan Kiyai Haji Sulaiman di Kota Serang Banten

Kisah Gantarawang dan Abah Manta Sang Kuncen Terakhir