Tiga Langkah Menyelamatkan Serang (Sawah) dari Kekurangan Air dan Gagal Panen
Meskipun dekat dengan Danau Tasikardi,
tidak menjamin sawah-sawah disekitarnya cukup air. Adalah Oded, Ma'il, Jaka,Janim dan para penggarap sawah lainnya di Kota dan Kabupaten Serang berkeluhkesah tentang sawah garapannya yang sudah 2 tahun, bahkan ada yang 3 tahun,hasil panennya tidak memuaskan. Apalagi yang di daerah Padek, sudah 3 tahun gagalpanen terus. Mereka menjelaskan bahwa penyebab semua itu adalah kurangnya
pasokan air yang masuk ke dalam sawah garapan mereka.
Air adalah salah satu unsur kehidupan
yang sangat vital. Tanpa air, semua makhluk hidup akan mati atau gampang
terkena penyakit. Begitu pun dengan padi. Tanpa air, padi gampang diserang hama
wereng. Padi yang terkena hama, daunnya berwarna kekuningan. Hama tersebut
menyerang batang padi di bagian bawah. Jika ada air di saluran irigasinya, para
penggarap akan mudah membasmi hama dengan cara mengatur debit air sawah
garapannya. Adanya air akan membuat hama-hama tersebut naik ke atas batang dan
hinggap di ujung daunnya sehingga mudah dibasmi dengan cara disemprot. Jika
tidak ada air, maka hama tersebut sangat sulit dibasmi karena bersembunyi di
bawah batang dan terlindungi rumput liar yang tumbuh di lahan sawah yang
kering. Air juga memudahkan para penggarap untuk membasmi rumput liar, caranya
dengan menginjak-nginjak tanah sawah yang ada rumputnya, orang Serang
menyebutnya 'ngoyos'. Jadi setelah ditanam, air berfungsi untuk membantu para
penggarap dalam memelihara dan menjaga padi supaya tidak sakit dan mati.
Di masa tanam, air berfungsi untuk
memudahkan para penggarap membajak sawah sehingga bibit padi bisa ditanam di
tanah yang gembur. Selama pertumbuhan, air bersama tanah sawah akan memberikan
zat-zat unsur hara yang dibutuhkan padi sehingga berisi dan merunduk. Normalnya,
hamparan sawah di Serang itu akan panen dua kali dalam setahun dan 1 ha nya
akan menghasilkan gabah basah sekitar 6 ton sampai 7 ton. Namun akhir-akhir
ini, sejak adanya normalisasi dan perbaikan saluran irigasi Bendung Pamarayan
yang disosialisasikan tahun lalu, hasil panennya hanya mencapai 50%, bahkan ada
yang sama sekali tidak panen, apalagi sawahnya berada di posisi paling belakang
dari saluran irigasi.
Saluran irigasi yang memenuhi kebutuhan
air ribuan hektar sawah di Serang bersumber dari Bendungan Pamarayan Kabupaten
Serang. Membentang sejauh 45 km dari Cikeusal wilayah tengah Kabupaten Serang
ke Bojonegara di Utara Serang Teluk Banten. Sumber airnya dari Sungai Ciujung
yang berhulu di Pegunungan Kendeng Kabupaten Lebak. Di setiap titik-titik
tertentu, terdapat pintu air yang mengalirkan air ke saluran sekunder. Saluran
irigasi primer dan sekunder tersebut, polanya membentuk seperti pola kelabang,
yang primer adalah badannya dan kakinya merupakan saluran sekunder. Tiap pintu
air dijaga oleh 'Ulu', yaitu orang-orang yang bertugas mengatur buka tutup nya
pintu air untuk mendistribusikan air dari saluran irigasi primer ke sekunder.
Ulu ini dibentuk dan dibiayai oleh para penggarap, bukan Pemerintah.
Pola irigasi yang menyerupai kelabang
raksasa ini, dalam keadaan normal, sebenarnya sangat adil dan merupakan sistem
terbaik dalam pendistribusian air. Sawah bagian depan yang dekat dengan saluranirigasi primer, bagian tengah dan bagian belakang akan mendapatkan air yangcukup. Namun, dalam keadaan tidak normal, seperti musim kemarau atau saat ini
ada normalisasi saluran irigasi, dimana debit airnya menjadi berkurang, maka
pola kelabang ini menjadi sistem yang tidak adil. Hanya sawah yang dekat dengan
saluran irigasi primer saja yang mendapat cukup air, sedangkan yang bagian
tengah, apalagi yang bagian belakang akan kekurangan air. Untuk menyiasatinya,para penggarap menggunakan alat bantu yaitu pompa air yang menyedot dan mengalirkan air dari saluran irigasi primer ke lahan sawah nya menggunakan slang. Nah, dapat dibayangkan, berapa energi yang harus dikeluarkan para
penggarap itu berupa uang dan waktu, belum lagi dampak sosial dan kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh pembakaran bensin dan solarnya. Para penggarap
itu terkadang ribut dan rebutan air. Di lapangan pun terlihat pintu air yang
sudah dicopot kemudinya supaya tidak ada yang melakukan sabotase. Atau galengan
di saluran irigasi sekundernya dilobangi pada bagian bawahnya supaya mengalir
di lahan sawahnya. Bagi yang punya modal, uang tidak menjadi masalah. Tapi
bagaimana dengan para penggarap yang sebagian besar tidak punya modal untuk
membeli bensin, pompa dan slang? Dalam 1 ha membutuhkan 10 ltr - 15 ltr
bensin/solar untuk menyedot air dari saluran irigasi primer.
Masalah air ini merupakan salah satu
dari sekian banyaknya persoalan tata guna lahan persawahan di Provinsi Banten,
khususnya di Serang. Jika tidak segera diantisipasi, maka wilayah persawahan
Serang dalam 2 tahun ke depan akan beralih fungsi menjadi lahan yang tidak
menghasilkan padi. Para penggarapnya yang sebagian besar hanya mengandalkan
hidup dari hasil panen sawah garapannya akan menjadi pengangguran dan tidak
produktif.
Serang, dalam bahasa Sunda berarti
sawah. Sebuah budaya bercocok tanam yang ada sejak zaman peradaban situs
Cibedug Banten Kidul, ribuan tahun yang silam sebelum masehi. Sawah-sawah ini
harus diselamatkan, direvitalisasi dan dilestarikan. Bukan hanya untuk menjaga
peradaban, tapi juga untuk memperkuat ketahanan pangan Bangsa Indonesia.
Wewengkon Kanekes (Baduy) dan KasepuhanBanten Kidul (KBK) mengajarkan kita bagaimana mengelola lahan persawahannya
supaya bisa memenuhi kebutuhan pangan warganya.
Wilayah-wilayah tersebut merupakan laboratorium alam yang sudah teruji dan bisa
diterapkan di wilayah persawahan Serang. Di bagian sumber airnya, yaitu sekitar
Bendungan Pamarayan, harus ada kawasan yang berfungsi sebagai Wilayah
Konservasi Air (WKA).
Di Baduy dan KBK, WKA ini disebutnya
sebagai Lahan Tutupan yang berfungsi sebagai lahan penjaga sumber air. Lahan
tersebut luasnya sekitar 51,2 % dari luas kawasan dan hanya boleh dimanfaatkan
non kayunya. Mungkin penerapan Lahan Tutupan ini sulit dan membutuhkan
waktu yang panjang. Oleh karena itu, lagi-lagi, kita bisa belajar dari kearifan
lokal yang lain, yaitu apa yang sudah dilakukan oleh Pak Hery Gunawan (alm) di
Desa Sumber Mujur yang melakukan konservasi air dengan menanam bambu, menjaga serta
melestarikan hutan bambu. Sekarang, hutan bambunya sudah menghasilkan debit air
sekitar 1000 ltr/detik dan bisa mengairi ribuan hektar sawah.
Penanaman bambu di sekitar Bendungan
Pamarayan merupakan solusi tercepat untuk memenuhi kebutuhan air bersih
lahan-lahan persawahan di Serang. Dalam waktu 3 tahun, hutan bambu seluas 60 haakan menyimpan cadangan air sekitar 1,8 juta liter dalam batangnya.
Untuk saat ini, kebutuhan air bisa di
suplai dari Sungai Ciujung, CiBanten dan Danau Tasikardi. Caranya dengan mengalirkanair dari ketiga sumber air tersebut ke saluran irigasi primer menggunakanpompa. Meskipun Danau Tasikardi bukan untuk irigasi, tapi dalam keadaan darurat
seperti ini, dimana saat musim hujan pun kekurangan air, apalagi musim kemarau,
maka air di Tasikardi sangat dibutuhkan untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan
air sawah-sawah yang ada di sekitarnya. Di sinilah peran Pemerintah Provinsi Banten untuk memfasilitasi biaya
operasional kebutuhan air untuk persawahan di Serang. Selain itu, normalisasi jugaharus dilakukan menyeluruh terhadap semua saluran irigasi primer dan sekunderserta saluran pembuangan yang ada di wilayah Padek Kota Serang.
Ah, jadi inget quote nya Confucius :
“If your plan is for 1 year, plant rice”.
“If your plan is for 10 years, plant trees”.
“If your plan is for 100 years, educated children”.
Dan saya pun menambahkan :
“If your plan is for live forever, plant bamboo”.
Mudah-mudahan dengan adanya
antisipasi tersebut, para penggarap dan pemilik lahan tidak menjual lahan
sawahnya atau mengalihkan fungsi lahannya menjadi lahan yang lebih produktif.
Comments