Tiga Langkah Menyelamatkan Serang (Sawah) dari Kekurangan Air dan Gagal Panen





Air adalah salah satu unsur kehidupan yang sangat vital. Tanpa air, semua makhluk hidup akan mati atau gampang terkena penyakit. Begitu pun dengan padi. Tanpa air, padi gampang diserang hama wereng. Padi yang terkena hama, daunnya berwarna kekuningan. Hama tersebut menyerang batang padi di bagian bawah. Jika ada air di saluran irigasinya, para penggarap akan mudah membasmi hama dengan cara mengatur debit air sawah garapannya. Adanya air akan membuat hama-hama tersebut naik ke atas batang dan hinggap di ujung daunnya sehingga mudah dibasmi dengan cara disemprot. Jika tidak ada air, maka hama tersebut sangat sulit dibasmi karena bersembunyi di bawah batang dan terlindungi rumput liar yang tumbuh di lahan sawah yang kering. Air juga memudahkan para penggarap untuk membasmi rumput liar, caranya dengan menginjak-nginjak tanah sawah yang ada rumputnya, orang Serang menyebutnya 'ngoyos'. Jadi setelah ditanam, air berfungsi untuk membantu para penggarap dalam memelihara dan menjaga padi supaya tidak sakit dan mati.


Di masa tanam, air berfungsi untuk memudahkan para penggarap membajak sawah sehingga bibit padi bisa ditanam di tanah yang gembur. Selama pertumbuhan, air bersama tanah sawah akan memberikan zat-zat unsur hara yang dibutuhkan padi sehingga berisi dan merunduk. Normalnya, hamparan sawah di Serang itu akan panen dua kali dalam setahun dan 1 ha nya akan menghasilkan gabah basah sekitar 6 ton sampai 7 ton. Namun akhir-akhir ini, sejak adanya normalisasi dan perbaikan saluran irigasi Bendung Pamarayan yang disosialisasikan tahun lalu, hasil panennya hanya mencapai 50%, bahkan ada yang sama sekali tidak panen, apalagi sawahnya berada di posisi paling belakang dari saluran irigasi.


Saluran irigasi yang memenuhi kebutuhan air ribuan hektar sawah di Serang bersumber dari Bendungan Pamarayan Kabupaten Serang. Membentang sejauh 45 km dari Cikeusal wilayah tengah Kabupaten Serang ke Bojonegara di Utara Serang Teluk Banten. Sumber airnya dari Sungai Ciujung yang berhulu di Pegunungan Kendeng Kabupaten Lebak. Di setiap titik-titik tertentu, terdapat pintu air yang mengalirkan air ke saluran sekunder. Saluran irigasi primer dan sekunder tersebut, polanya membentuk seperti pola kelabang, yang primer adalah badannya dan kakinya merupakan saluran sekunder. Tiap pintu air dijaga oleh 'Ulu', yaitu orang-orang yang bertugas mengatur buka tutup nya pintu air untuk mendistribusikan air dari saluran irigasi primer ke sekunder. Ulu ini dibentuk dan dibiayai oleh para penggarap, bukan Pemerintah.


Pola irigasi yang menyerupai kelabang raksasa ini, dalam keadaan normal, sebenarnya sangat adil dan merupakan sistem terbaik dalam pendistribusian air. Sawah bagian depan yang dekat dengan saluranirigasi primer, bagian tengah dan bagian belakang akan mendapatkan air yangcukup. Namun, dalam keadaan tidak normal, seperti musim kemarau atau saat ini ada normalisasi saluran irigasi, dimana debit airnya menjadi berkurang, maka pola kelabang ini menjadi sistem yang tidak adil. Hanya sawah yang dekat dengan saluran irigasi primer saja yang mendapat cukup air, sedangkan yang bagian tengah, apalagi yang bagian belakang akan kekurangan air. Untuk menyiasatinya,para penggarap menggunakan alat bantu yaitu pompa air yang menyedot dan mengalirkan air dari saluran irigasi primer ke lahan sawah nya menggunakan slang. Nah, dapat dibayangkan, berapa energi yang harus dikeluarkan para penggarap itu berupa uang dan waktu, belum lagi dampak sosial dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pembakaran bensin dan solarnya. Para penggarap itu terkadang ribut dan rebutan air. Di lapangan pun terlihat pintu air yang sudah dicopot kemudinya supaya tidak ada yang melakukan sabotase. Atau galengan di saluran irigasi sekundernya dilobangi pada bagian bawahnya supaya mengalir di lahan sawahnya. Bagi yang punya modal, uang tidak menjadi masalah. Tapi bagaimana dengan para penggarap yang sebagian besar tidak punya modal untuk membeli bensin, pompa dan slang? Dalam 1 ha membutuhkan 10 ltr - 15 ltr bensin/solar untuk menyedot air dari saluran irigasi primer.


Masalah air ini merupakan salah satu dari sekian banyaknya persoalan tata guna lahan persawahan di Provinsi Banten, khususnya di Serang. Jika tidak segera diantisipasi, maka wilayah persawahan Serang dalam 2 tahun ke depan akan beralih fungsi menjadi lahan yang tidak menghasilkan padi. Para penggarapnya yang sebagian besar hanya mengandalkan hidup dari hasil panen sawah garapannya akan menjadi pengangguran dan tidak produktif.


Serang, dalam bahasa Sunda berarti sawah. Sebuah budaya bercocok tanam yang ada sejak zaman peradaban situs Cibedug Banten Kidul, ribuan tahun yang silam sebelum masehi. Sawah-sawah ini harus diselamatkan, direvitalisasi dan dilestarikan. Bukan hanya untuk menjaga peradaban, tapi juga untuk memperkuat ketahanan pangan Bangsa Indonesia.


Wewengkon Kanekes (Baduy) dan KasepuhanBanten Kidul (KBK) mengajarkan kita bagaimana mengelola lahan persawahannya supaya bisa memenuhi kebutuhan pangan warganya. Wilayah-wilayah tersebut merupakan laboratorium alam yang sudah teruji dan bisa diterapkan di wilayah persawahan Serang. Di bagian sumber airnya, yaitu sekitar Bendungan Pamarayan, harus ada kawasan yang berfungsi sebagai Wilayah Konservasi Air (WKA).


Di Baduy dan KBK, WKA ini disebutnya sebagai Lahan Tutupan yang berfungsi sebagai lahan penjaga sumber air. Lahan tersebut luasnya sekitar 51,2 % dari luas kawasan dan hanya boleh dimanfaatkan non kayunya. Mungkin  penerapan Lahan Tutupan ini sulit dan membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu, lagi-lagi, kita bisa belajar dari kearifan lokal yang lain, yaitu apa yang sudah dilakukan oleh Pak Hery Gunawan (alm) di Desa Sumber Mujur yang melakukan konservasi air dengan menanam bambu, menjaga serta melestarikan hutan bambu. Sekarang, hutan bambunya sudah menghasilkan debit air sekitar 1000 ltr/detik dan bisa mengairi ribuan hektar sawah.


Penanaman bambu di sekitar Bendungan Pamarayan merupakan solusi tercepat untuk memenuhi kebutuhan air bersih lahan-lahan persawahan di Serang. Dalam waktu 3 tahun, hutan bambu seluas 60 haakan menyimpan cadangan air sekitar 1,8 juta liter dalam batangnya.

Untuk saat ini, kebutuhan air bisa di suplai dari Sungai Ciujung, CiBanten dan Danau Tasikardi. Caranya dengan mengalirkanair dari ketiga sumber air tersebut ke saluran irigasi primer menggunakanpompaMeskipun Danau Tasikardi bukan untuk irigasi, tapi dalam keadaan darurat seperti ini, dimana saat musim hujan pun kekurangan air, apalagi musim kemarau, maka air di Tasikardi sangat dibutuhkan untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan air sawah-sawah yang ada di sekitarnya. Di sinilah peran Pemerintah Provinsi Banten untuk memfasilitasi biaya operasional kebutuhan air untuk persawahan di Serang. Selain itu, normalisasi jugaharus dilakukan menyeluruh terhadap semua saluran irigasi primer dan sekunderserta saluran pembuangan yang ada di wilayah Padek Kota Serang.

Ah, jadi inget quote nya Confucius :

“If your plan is for 1 year, plant rice”.
“If your plan is for 10 years, plant trees”.
“If your plan is for 100 years, educated children”.

Dan saya pun menambahkan :

“If your plan is for live forever, plant bamboo”.

Mudah-mudahan dengan adanya antisipasi tersebut, para penggarap dan pemilik lahan tidak menjual lahan sawahnya atau mengalihkan fungsi lahannya menjadi lahan yang lebih produktif.

Comments

Popular posts from this blog

Pepadone Wong Serang, Kamus Base Jawe Serang

Kisah Gantarawang dan Abah Manta Sang Kuncen Terakhir

Asal Usul Jalan Kiyai Haji Sulaiman di Kota Serang Banten