Liburan Sehat di Kampung Bagian Kelima




Sebuah Impian untuk Melanjutkan Kembali Membangun Kejayaan Kesultanan Banten
Karangantu - TaBu Village - Kesultanan Banten
render by Asep Goemilar

Benar-benar macet akses menuju Pantai Gopek. Jangankan yang naik sepeda, apalagi yang berkendaraan motor, orang yang jalan kaki saja macet. Padahal ini masih jam satu siang. Semua kendaraan diarahkan parkir di sekitar Tempat Pelelangan Ikan. Saya coba ajak mutar anak-anak, karena akses utamanya sudah tertutup motor yang parkir. Setelah sedikit usaha dengan menggotong sepeda dan becak, akhirnya kami bisa masuk ke jalan beton menuju Pantai Gopek. Becak Minion yang dibawa oleh Alang selalu menjadi pusat perhatian.


Menjelang Gubug Emmak, kami disambut teriakan, "wah lamasekali tidak ke sini, mana Abel? Arif ini ada Abel teman main kamu dulu pas diempang". Ya, mereka adalah keluarga yang tinggal di paling ujung Pelabuhan Karangantu. Satu-satunya rumah tempat bernaung Emmak, Pak Nawing, Teh Intan anak perempuannya, Kang Udin suami Intan, Arif dan Rahmat anaknya Teh Intan.
Senang sekali melihat bangkitan dari rencana pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara, meskipun baru dermaganya saja. Gubug Emmak, meskipun tidak ada perubahan, sekarang sudah punya warung di pinggir dermaganya, lumayan buat bertahan hidup. Banyak warung berdiri di pinggir dermaga dan juga kapal-kapal yang ngetem menunggu penumpang yang ingin berlayar menuju pulau-pulau yang ada di Teluk Banten. Ada Pulau Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Tunda, Panjang dan lain-lain.
Anak-anakku, inilah Karangantu, selain sebagai Pelabuhan Internasional Zaman Kesultanan Banten, tempat ini memiliki banyak legenda seperti Dampu Awang yang sering Alang minta untuk diceritakan. Wuih pak! Villa Bambu di tengah empang bapak sudah hancur! Kata Teh Intan sambil menunjuk jalan setapak yang biasa Saya lalui untuk menuju Villa Bambu. Ya! Ini sekalian Saya mau nengok bersama anak-anak.




Ayo anak-anak kita menuju empang Abah. Jalan setapak di galengan empang masih belum berubah termasuk vegetasinya. Lihat Ade, ini yang namanya iLaLang, rumput liar yang selalu tumbuh sebagai salah satu tanaman perintis. Ini jadi salah satu filosofi pemberian nama iLaLang untuk abang mu, biar dia tumbuh dimana saja dan menjadi perintis bagi kebaikan boemi. Kalau ini apa Abah? Tanya Ade melihat objek yang keras berbentuk kerucut yang banyak terdapat di pinggir jalan setapak. Ini namanya rumah Kumang atau keong laut. Kenapa ada di sini, bukannya di laut, terus mana kumangnya? Tanya Ade lebih detail lagi, memang anak-anak seusia empat tahun ini nalar keingintahuannya sangat besar sekali. Kumang ini sebenarnya hidup di pesisir pantai yang ada pasir dan karangnya. Pada saat air laut pasang, Kumang ini terbawa arus masuk ke dalam empang-empang melalui saluran yang ada di samping empang. Lalu, untuk menjaga kedalaman empang supaya tetap, maka endapan lumpurnya harus dinaikkan ke galengan. Makanya Kumang-kumang ini adanya di galengan empang.

Jembatan pertama akses menuju Villa Bambu sudah rusak berat namun masih bisa dilewati. Di ujung arah hutan mangrove, saya lihat sesosok tubuh tua renta sedang berjalan menuju arah Saya. Mang Si'in! Ya itu Mang Si'in, salah seorang kuncen empang Karangantu. Masih seperti yang dulu, tidak banyak perubahan, gaya jalan dan pakaiannya. Saya hampiri beliau, karena mata dan telinganya sudah tidak normal lagi. Saya peluk, dan beliau menangis sambil berucap sudah lama sekali tidak datang ke empang. Beliau inilah yang menjaga keluar masuknya air laut ke empang, menjaga empang supaya bisa hidup ikan bandengnya. Beliau ingin sekali Villa Bambu dibangun kembali.
Melewati gubug tempat kami kecil dulu bernaung. Masih kokoh dan satu-satunya tempat tinggal Mang Si'in. Dua Pohon Asamnya di depan dan belakang semakin tumbuh rindang menyejukkan lingkungan yang panas dan gersang. Tidak ada satupun bambu yang tumbuh di galengan ini. Padahal sempat tumbuh sekitar 3 bibit dan sudah didokumentasikan. Menjelang jembatan kedua akses menuju Villa Bambu, di galengan yang cukup lebar sekitar 3m - 4m, ternyata ada 3 rumpun bambu payung yang tumbuh subur. Senang sekali melihatnya, anak-anakku, inilah salah satu fakta bahwa bambu itu sangat handal, di lahan yang sangat kritis sekalipun, bambu bisa tumbuh. Kelak, rumpun-rumpun bambu inilah yang akan menjaga keseimbangan alam lingkungannya. Untuk daerah pesisir Teluk Banten ini, yang akan dijaga adalah hutan mangrove nya dari penebangan liar masyarakat pesisir yang membutuhkan kayu untuk memasak. Rumpun-rumpun bambu inilah yang bisa menggantikan fungsi kayu yang digunakan untuk kebutuhan memasak.
Anak-anakku, tahun 2018, Abah bangun Kampung Ramah Lingkungandengan konsep EcoVillage di tengah empang peninggalan Abah Gede. Namanya Tapak Bumi Village, masyarakat pesisir Teluk Banten ini menyebutnya Villa Bambu karena semua bangunannya terbuat dari bambu. Tahun 2011 TaBu Village hancur terkena angin puting beliung, dan tahun 2012 di rekonstruksi kembali melalui Workshop Bambu. Tahun 2013, Abah tinggalkan karena pindah kerja ke Tangsel dan fokus menggelorakan Revolusi Sebatang Bambu.
Sekarang, kita datang lagi dengan kondisi hancur semua. Jembatan, musholla, gubug penerima, rumah apung dan home stay hancur lebur. Bahkan dua kincir angin juga hancur. Hanya Gubug Serba Guna yang masih berdiri kokoh dan menara pandang dari kayu bangkirai yang masih berdiri. Abah akan bangun kembali menjadi Kompleks Kesultanan Banten kerja sama dengan Yayasan Kesultanan Banten. Saat ini pun Panglimanya Ki Pitong ikut survey melihat lahan yang akan dijadikan Kompleks Kesultanan Banten.




Tanaman liar yang di galengan akses menuju GSG ini bagus juga jika dibiarkan tumbuh tinggi membentuk lorong. Biasanya kami babat untuk mendapatkan ruang yang lebih lega. Wah! Lihat itu, bambu hitam yang ditanam dibelakang gubug penerima yang sudah hancur masih hidup. Tapi, dibandingkan dengan bambu payung, pertumbuhannya sangat tidak normal, tingginya belum mencapai 1 m, batangnya juga kecil seperti bambu semak. Dan, kami pun balik ke KKP dengan impian baru melanjutkan kembali Membangun Kejayaan Kesultanan Banten dari TaBu Village.



Sampai di KKP, saya terbangkan drone untuk melihat Pelabuhan Karangantu menjelang pergantian tahun dari atas. Sementara itu, yang lainnya sedang menyiapkan makanan minuman untuk malam pergantian tahun baru. Salah satu menu spesialnya adalah bandeng bakar. Bandeng yang kami tangkap dari empang milik keluarga. Masih segar dan tidak bau lumpur. Tadinya kita mau manggang di TaBu Village dengan menu andalannya bandeng lumpur bakar, sambal mentah dan lalaban krokot dan daun bagal tikus. Namun sayang, karena kondisinya tidak memungkinkan, jadinya manggang di KKP saja tanpa menu andalan tersebut. Dan akhirnya, kami semua berbahagia menyambut pergantian tahun, setelah itu kami istirahat semua, karena pagi-paginya setelah Sholat Subuh, kami harus berlayar menuju Pulau Papat, sebuah pulau yang merupakan salah satu Kepingan Peradaban Atlantis di Teluk Banten.
bersambung........
Sambil menunggu cerita selanjutnya, silahkan menonton video amatirnya tentang Perjalanan menuju Pulau Papat di link ini :

Comments

Popular posts from this blog

Pepadone Wong Serang, Kamus Base Jawe Serang

Kisah Gantarawang dan Abah Manta Sang Kuncen Terakhir

Asal Usul Jalan Kiyai Haji Sulaiman di Kota Serang Banten