Liburan Sehat di Kampung Bagian Keempat




Abah! Ayo cepat lanjutkan perjalanan ini! Teriak Alang mengagetkan saya yang masih asik memotret jalan dan lingkungan di kawasan Angsana ini. Saya kayuh lagi sepeda di jalanan yang berbatu, becek dan berlubang-lubang. Nampak sekali pembangunan belum sampai ke daerah ini. Padahal ini adalah jalan legenda zaman Kesultanan Banten.
Sepanjang jalan, selain kampung-kampung lama, ada juga lahan pertanian yang sudah beralih fungsi menjadi peternakan ayam, perkebunan homogen dan panglong untuk pembakaran bata dan genteng dari tanah liat. Ada juga tanaman bambu khas Serang Banten, yaitu bambu hitam, surat, ori, kuning, ampel hijau dan apus.
Alih fungsi lahan ini jelas sekali merusak keseimbangan alam. Seperti pembuatan bata dan genteng dari tanah liat. Tanahnya hasil dari galian lahan sawah, sehingga menyebabkan perbedaan level ketinggian antara jalan dan lahan di pinggirnya. Lahan jadi tidak subur lagi dan jika hujan menjadi kolam yang membahayakan.
Selain untuk bata dan genteng, tanah di kawasan ini juga bagus sekali untuk pembuatan gerabah. Zaman Kesultanan ada 2 kawasan pengrajin gerabah yaitu di samping Istana Surosowan yang sekarang beralih fungsi menjadi terminal yang kumuh dan jorok, satu lagi di Desa Bumi Jaya. Meskipun sampai saat ini masih ada, para pengrajinnya terancam punah karena tidak ada regenerasi dan bahan baku tanah liatnya pun banyak dijual ke tempat lain seperti di Bali.
Jelajah kampung ini harusnya sampai di Masjid Agung Banten, hanya karena harus packing menuju Karangantu, saya putuskan untuk kembali ke Kecantilan.
Setelah makan siang, kami berangkat menuju Karangantu lewat jalan yang dibangun pada masa sesudah Kesultanan Banten dihancurkan oleh VOC. Dulu, sekitar tahun80an sampai 2000, jalan yang diberi nama Jalan Banten ini masih nyaman nan asri. Jalannya tidak begitu lebar, di pinggirnya berjejer pohon asam dan persawahan yang merupakan salah satu lumbung padi di Banten (Serang, dalam bahasa Sunda artinya sawah). Sekarang, lebarnya masih tetap, hanya pohon asemnya yang mulai hilang dan persawahannya sudah beralih fungsi menjadi bangunan seperti rumah, ruko, pom bensin, sekolah dan panglong kayu. Beberapa tempat yang masih bertahan adalah Makam Keramat Keluarga Kesultanan Banten dan Istana Kaibon. Namun kondisinya tidak terawat dan terlihat semerawut dan kumuh.


Anak-anakku, sebentar lagi kita akan memasuki kawasan Pelabuhan Karangantu. Sebuah Pelabuhan Internasional zaman Kesultanan Banten, terletak di pesisir Teluk Banten Laut Jawa. Tahun 2010 - 2012, Abah membuat Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), Revitalisasi Kawasan Heritage dan menata bantaran saluran Karangantu dan Kampung Bugisnya. Tahun 2010, kondisi bantarannya sangat kumuh sekali, banyak gubug-gubug liar dan WC. Alhamdulillah dengan pendekatan kekeluargaan, para pemilik bangunan liar itu mau membongkar sendiri bangunannya dan pada event hari habitat dunia, bantarannya dihijaukan dengan menanam berbagai jenis pohon dan tanaman. Selain penghijauan, dermaganya pun dibuat beserta kanopi dan gazebo. Di Kampung Bugisnya dibangun 4 unit rumah panggung khas Bugis yang merupakan hibah Kementerian PU kepada warga untuk difungsikan sebagai homestay. Hari ini kalian lihat anak-anakku, bantarannya sudah hijau, asri dan pohon produktifnya sudah berbuah. Meskipun sarana dan prasarananya rusak karena tidak dirawat oleh masyarakat dan Pemprov Banten, bahkan sampai tulisan Kawasan Ecowisata Karangantu nya hilang diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab, tanaman dan pohonnya tumbuh subur menghijaukan kawasan Pelabuhan Karangantu yang dulunya kumuh dan gersang.
Saat memasuki gerbang Kawasan Pelabuhan Perikanan Karangantu, mobil kami sempat di stop dan diminta uang sebagai ticket masuk. Memang sudah lama sekali saya tidak ke kawasan ini sehingga mereka sudah tidak mengenali lagi mobil saya. Saya buka jendela dan menyapa salah satu security lama yang masih bertugas di KKP, namanya Pak Mansyur. Begitu melihat saya, dia langsung kaget dan senang. Rombongan kami pun langsung memasuki kompleks Kantor Kelautan dan Perikanan (KKP). Saya memang sengaja menyewa 4 kamar yang ada di Mes Karyawan KKP.
Omet, anak-anak dan keponakan mulai menurunkan barang-barang termasuk sepeda dan becak. Sementara saya mendengarkan cerita Pak Mansyur mengenai kegiatan kegiatan yang pernah saya lakukan. Wah Pak Kodas, sekarang bantarannya sudah hijau dan berbuah, bahkan ada yang mengklaim pohonnya itu milik warga, saya bilang saja, hey itu Pak Kodas yang menanam, untuk masyarakat pesisir ini, jadi siapapun boleh menikmatinya. Selain itu, Pelabuhan yang dulu dibahas bersama-sama dengan Tim KKP dan Pak Kodas sekarang sudah jadi dan ramai pengunjung, sampai-sampai diberi nama Pantai Gopek, karena buat masuknya dikenai biaya gopek. Tapi, karena hari ini adalah puncak hari pergantian tahun baru, jadi mobil dan motor tidak bisa masuk. Hutan bakaunya yang dulu sama-sama dijaga, dirawat dan ditanam juga sudah tumbuh bertambah luas. Untung yah dulu itu kita tidak menyetujui pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantaranya di area hutan bakau, dan kita mengusulkannya menjorok ke laut sejauh 1 km. Hanya sayang, bangunan bapak yang di tengah empang itu hancur tidak terurus. Ya, betul Pak Mansyur, sejak terkena badai angin puting beliung, saya tinggalkan dulu dan fokus mengembangkan bambu. Sekarang, saya mau bangun kembali, insyaAllah.
Ayo anak-anak! Kita ke Pantai Gopek dan melihat Empang Abah. Abel ngebonceng Adli, Ale ngebonceng Arini dan Alang pake becak bawa Ade. Asek dan seru melihat anak-anak bergembira naik sepeda dan becak menuju Pantai Gopek. Wah jalanannya sudah kokoh dibeton, pinggirnya banyak tanaman hias dan berbunga, sebelahnya masih pohon khas pesisir dan empang. Dulu jalannya masih tanah dan becak, sekarang bagus sekali dan ramai sampai macet. Naik sepeda sajasudah macet. Orang-orang pada kaget melihat becak mini yang disopiri Alang. Tidak menyangka ada anak kecil bawa becak, ada penumpangnya lagi.
(Bersambung.....)

Comments

Popular posts from this blog

Pepadone Wong Serang, Kamus Base Jawe Serang

Kisah Gantarawang dan Abah Manta Sang Kuncen Terakhir

Asal Usul Jalan Kiyai Haji Sulaiman di Kota Serang Banten