Sudah Saatnya Kota-Kota di Indonesia Membangun Sistem Pengendalian Air Hujan


Bencana lingkungan yang terjadi di hari pertama tahun 2020 menjadi bukti nyata bahwa kota-kota di Indonesia ini lemah dan rentan sekali terhadap bencana. Banjir, tanah longsor dan kekurangan air bersih setiap tahun selalu terulang dan bertambah parah. Penyebab utama dari bencana lingkungan itu adalah karena kita tidak bisa mengendalikan yang namanya AIR dan kotanya tidak memiliki sistem pengendalian air hujan yang terintegrasi.

Secara alamiah, air hujan itu turun dari awan ke bumi. Kemudian mengalir ke tempat yang lebih rendah. Mengisi ruang-ruang yang kosong dan cekungan-cekungan. Jika air hujan tersebut menemui hambatan, baik itu karena tidak bisa mengalir maupun tempatnya sudah jenuh, maka air itu akan terus mencari tempat-tempat yang bisa menampungnya, bahkan dengan energi aliran yang sangat cepat sekali. Jadilah air itu bisa menyebabkan tanah longsor, jembatan roboh, bangunan ambruk dan menghanyutkan semua benda-benda yang ada di depan alirannya. Itulah yang kita sebut sebagai bencana lingkungan karena kita sudah menghambat dan tidak bisa mengendalikan sifat alamiahnya air hujan.
Air hujan itu merupakan air yang sangat baik karena bisa menumbuhkan biji-bijian,
pepohonan dan tanaman yang ada di tanah. Air hujan juga merupakan air bersih yang melimpah dan gratis serta bisa langsung dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup. Air hujan adalah berkah dari Allah Yang Maha Kuasa melalui siklus alam.
Ada 2 jenis pengendalian air hujan, yaitu alami dan buatan. Pengendalian alami yaitu dengan menggunakan tanaman, pepohonan, sungai, danau dan rawa. Sedangkan pengendalian buatan adalah dengan membuat resapan, saluran dan kolam. Saat air hujan turun dari awan, daun-daun di pepohonan dan tanaman akan menahan sementara, sehingga saat mencapai tanah sudah dalam bentuk tetesan-tetesan. Oleh karena itu, tanah bisa meresapkan tetesan air hujan itu secara optimal. Tetesan air hujan yang meresap ke dalam tanah itu akan dihisap oleh akar pepohonan, tanaman dan selanjutnya di simpan di batang-batangnya. Tetesan air hujan yang tidak dihisap, akan menjadi air tanah dan sumber mata air. Sedangkan tetesan air hujan yang tidak meresap ke dalam tanah, akan menjadi air permukaan yang akan mengalir ke bawah sampai menemukan penampungannya berupa sungai, danau dan rawa.
Sekarang sudah abad 21, memasuki Zaman Milenial. Zaman dimana pemanasan global sudah menyebabkan perubahan iklim dan kemajuan teknologi yang begitu cepat sudah merubah budaya dan perilaku masyarakat di Bumi. Perubahan iklim dan kemajuan teknologi telah merusak benteng-benteng alam yang secara alaminya bisa mengendalikan air hujan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengendalian buatan untuk air hujan mulai dari hunian, RT, RW, kampung, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi dan pulau. Karena untuk merestorasi pengendali alami itu membutuhkan waktu yang lama, minimal 3 tahun, bila ditanami bambu.
Di tingkat hunian, dibuat Sistem Pengendali Air Hujan skala hunian (SPAH 1). Terdiri dari kolam untuk memanen air hujan (ukurannya disesuaikan dengan luas lahan), resapan untuk meresapkan air jika kolamnya penuh air, tanaman/pepohonan untuk mengubah derasnya air hujan menjadi tetesan dan menyimpan cadangan air (disarankan tanamannya adalah bambu).
Di tingkat RT, RW, (SPAH 2), jalan-jalan lingkungannya dibuatkan sub reservoir, yaitu tanki untuk memanen air hujan. Saluran/drainasenya dinormalisasi dan dibuatkan resapan-resapan. Jika ada tiang listrik dan dinding massif, ditanami tanaman rambat. Begitu juga jika ada taman atau ruang terbuka hijau, dibuatkan sub reservoir, resapan dan ditanam pepohonan/tanaman.
Di tingkat kampung, desa, kelurahan, kecamatan sampai kabupaten dan kota, dibuatkan SPAH 3 dengan ditambahkan pembuatan tandon-tandon air atau embung skala kabupaten atau kota.
Di tingkat provinsi dan pulau, dibuatkan SPAH 4 dengan ditambahkan pembuatan bendungan (beberapa daerah sudah dibangun). Sistem pengendali air hujan yang terakhir (SPAH 5) adalah dengan merestorasi benteng-benteng alam dan kawasan hulu dengan menanam kembali tanaman dan pepohonan. Normalisasi saluran, sungai dan situ harus terus dilakukan secara berkala supaya SPAH ini bekerja optimal.
Sudah saatnya kota-kota di Indonesia Membangun Sistem Pengendalian Air Hujan, dimulai dari hunian.

sumber : https://www.facebook.com/aryani.murcahyani

Comments

Popular posts from this blog

Pepadone Wong Serang, Kamus Base Jawe Serang

Kisah Gantarawang dan Abah Manta Sang Kuncen Terakhir

Asal Usul Jalan Kiyai Haji Sulaiman di Kota Serang Banten