Cibedug, Perjalanan Spiritual dan Pesona Peradaban Atlantis di Lereng Gunung Halimun


Hujan gerimis menyambut kami kala mengawali jalan kaki menuju Cibedug Kasepuhan Banten Kidul. Waktu 5 jam menuju Cibedug dari Citorek Tengah memberikan kesan yang sangat mendalam, terutama anak saya iLaLang Jagad Boemi Syuhada (Alang) yang baru melakukan jalan kaki pertama kali dengan medan yang sangat ekstrim. Saat mau berangkat pun, Pak Jarot, Jaro Citorek Tengah sudah mewanti-wanti supaya Alang jangan ikut, ditambah lagi hujan gerimis. Namun saya tetap mengajaknya sebagai pengalaman berharga untuk bekal hidup nanti dan Alang pun sangat antusias untuk mengikuti adventure ini karena ingin melihat situs zaman purba yang sebelumnya sudah diceritakan. Sepanjang perjalanan, saya bercerita tentang kearifan lokal Kasepuhan Banten Kidul seperti pengaturan ruang kawasannya yang memiliki pola tanah titipan, tanah tutupan dan tanah olahan. Juga upacara adat ‘Seren Taun’ dan ‘Leuit’ tempat menyimpan padi hasil panen.
Saat memulai perjalanan, Alang saya ambil potonya dengan background ‘Leuit’. Melewati jembatan gantung yang dibawahnya mengalir sungai dengan arus yang deras dan perkampungan dengan jalan berbatu yang belum di aspal. Ketika melihat pos kamling yang ada dinding kepala macannya, saya potret Alang sebagai penanda. Baru melewati perkampungan, kami harus melewati rintangan pertama, yaitu jalan lumpur sepanjang 50 m dengan kedalaman mulai 20 cm - 50 cm. Terpaksa harus buka alas kaki dan mulai berjalan dengan sangat berat sekali. Setelah itu, di depan mata sudah menanti jalan tanah menanjak dan licin terkena air hujan. Sebelum memulai jalan, Alang minta cuci dulu di pancuran sawah. Segar sekali airnya, di belakang dan samping berderet Leuit-Leuit tempat menyimpan padi yang berdekatan dengan hamparan sawah. Bagi saya, perjalanan ini hanyalah sebuah penyegaran kembali saat saya masih aktif memfasilitasi pembangunan desa adat di Banten Kidul dari tahun 2009-2012. Tapi tidak untuk seorang anak yang berusia 6 tahun, ini adalah perjalanan yang sangat ekstrim dan di luar perkiraan saya dan teman-teman yang lain. Tim survey, sekitar 4 bulan sebelumnya, mengatakan jalannya belum dilebarkan, masih jalan setapak yang nyaman dan aman. Sekarang, sedang ada pelebaran jalan supaya kendaraan minimal roda 4 bisa mengakses kawasan Cibedug. Saat ini baru tahapan pembukaan lahan dan wilayah-wilayah tertentu saja yang sudah diberi perkerasan dasar menggunakan batu gunung yang berwarna hitam pekat dan tajam karena baru dipecah. Dapat dibayangkan, ekstrimnya jalan menuju Cibedug yang harus naik turun bukit, ditambah lagi hujan yang terus menerus mengiringi perjalanan ini. Di sepanjang jalan menuju puncak pertama, saya bertemu para petani yang mau pulang, dan ditanya mau kemana, Cibedug! Jawab saya, sampai Alang pun hapal tujuan kami, dan selanjutnya, Alang lah yang menjawab. Mereka pun merasa kagum terhadap Alang yang dalam pikirannya mengatakan kok bisa anak kota diajak jalan yang jauh dengan jalanan yang licin dan berlumpur. Sekitar 2 jam perjalanan, saya baru sadar jika ransel yang isinya peralatan sholat dan baju ganti tidak dibawa, karena saya masih berpikir bisa bolak balik dan menginapnya di Citorek Tengah. Mau minta tolong ada yang balik lagi juga tidak tega karena jalannya sangat ekstrim. Ya sudah ini adalah resiko petualangan.
Perjalanan pun dilanjutkan dengan medan yang bertambah berat dan gerimis yang semakin awet. Naik turun bukit, meliak-liuk seperti ular piton raksasa, kadang berbatu tajam, kadang berlumpur dengan pemandangan yang luar biasa indah dari puncak-puncak bukit. Saya abadikan dengan kamera HP spot-spot terbaik, termasuk aktivitas para petani dan keluarganya yang berjalan pulang ke rumahnya karena hari sudah menjelang maghrib. Akhirnya, kenikmatan perjalanan itu bertambah besar karena kaki Alang sebelah kiri sobek kena batu tajam, terpeleset saat mau mencuci kaki di pancuran dinding tanah. Saya buka ransel yang isinya perlengkapan P3K. Setelah dicuci, saya semprot dengan cuka bambu dan ditaburi arang bambu lalu dibalut memakai kain kasa. “Sakiiiiiittttttt, sakiiiiiittttt”, jerit Alang menyayat hati saya. Kadang ada rasa menyesal juga membawa Alang ke tempat yang sangat ekstrim ini. Namun, ini adalah tantangan hidup, harus diselesaikan dan sampai di Cibedug! Setelah diobati, Alang saya gendong. Wow, dah lama tidak mengangkat beban 50 kg sejak selesai kuliah keluar masuk hutan dan naik turun gunung. Meskipun daya tahan tubuh sudah menurun karena faktor usia dan gaya hidup, saya tetap gendong untuk menambah mentalnya yang sempat down dan diimbangi dengan istirahat. Untuk menambah semangat Alang, saya ajak bernyanyi, mengaji dan baca sholawat. 
Mental Alang bertambah down kala hari sudah mulai gelap dan rombongan paling depan dan belakang terpisah cukup jauh. Sepanjang perjalanan, Alang tidak henti-hentinya bertanya kenapa hanya berdua saja, yang lain pada kemana, sampai kapan sampainya, Alang tidak mau lagi seperti ini, ada jalan lain tidak, nanti pulangnya apakah harus melalui jalan ini lagi. Bertubi-tubi Alang menanyakan terus dan saya dengan sabar menjelaskan dan meyakinkan bahwa semuanya akan indah pada waktunya, sambil saya menceritakan tentang perjuangan Jenderal Soedirman yang melakukan perang gerilya melawan penjajah. Ini masih belum seberapa, dulu Pak Dirman itu tidak hanya sobek kakinya, hatinya yang sobek, sakit dan harus ditandu, berbulan-bulan keluar masuk hutan dalam keadaan sakit dan sulit mendapatkan makanan. Kita, yang sekarang melakukan perjalanan ini, tinggal sejam lagi sampai di Cibedug. Saya yakinkan Alang bahwa bentar lagi akan sampai karena sudah ada tiang listrik dan di bawah ada cahaya lampu dan suara adzan maghrib.
Perjalanan bertambah sulit karena senter yang saya bawa lampunya redup, ditambah hujan masih terus mengguyur, sulit membedakan mana jalanan berlumpur mana yang berbatu dan kadang harus menggendong Alang. Kaki pun sudah berasa ada yang tergores. Di puncak jalan yang diduga sebagai puncak terakhir, saya liat lampu-lampu rumah penduduk. Semangat Alang bertambah begitu saya katakan itu kampung yang kita tuju. Namun, lagi-lagi saya harus berhati-hati karena ternyata jalanannya menurun cukup curam, berlumpur dan gelap. Sambil menggendong Alang, saya coba berjalan dengan meraba-raba dan berharap tidak ada batu-batu. Bresssetttt! Saya pun terpeleset bersama Alang. Sepertinya telapak tangan saya luka, Alang pun meminta saya supaya jangan jatuh, tetap semangat, Abah jangan sakit. Ya gantian Alang yang menyemangati saya. Ya sudah lang, kita turunnya gaya perosotan saja yah! Akhirnya kami meluncur dengan tetap meraba-raba supaya tidak terkena benda-benda yang tajam. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga di Cibedug, menjelang 'isya. Rombongan pertama menyambut kami di rumah Kaolotan Cibedug dan tak lupa mengucapkan selamat kepada Alang yang berhasil melewati perjalanan yang sangat ekstrim.
Rumah yang kami singgahi itu adalah rumah Olot Bajri. Udin, menantunya Olot Bajri, bercerita tentang Situs Cibedug yang diduga usianya lebih tua dibanding Situs Gunung Padang, sekitar 1500 SM. Bulan kemarin, didatangi oleh peneliti dari Jepang, sampai dua kali dan membawa batu arang untuk diteliti. Disebut Cibedug, dikarenakan ada bunyi seperti bedug diwaktu-waktu tertentu seperti menjelang berbuka puasa atau penanda waktu untuk merayakan 'Idhul Fitri. Namun, bunyi bedug ini tidak akan terdengar jika kita mempunyai niat untuk mendengar bunyinya. Sedangkan Ci itu artinya air (dalam bahasa Sunda 'cai'), karena disekelilingnya ada sungai. Situs Cibedug ini luasnya 2 ha, terdiri dari susunan batu-batu yang membentuk segi empat berundak 9 dengan bagian puncaknya mengecil seperti piramid. Di situs juga terdapat batu-batu lonjong, batu kursi, batu tumpeng, batu tulis dan sumur. Semua aktivitas yang akan dilakukan di situs harus seizin Kaolotan dulu. Sebab, kalau belum mendapatkan izin, akan terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Ada yang memotret situs tanpa izin, hasil potonya buram atau gelap. Ada yang mengambil batu yang ada di situs, maka orang itu akan mengalami sakit dan baru sembuh tatkala benda yang diambilnya dikembalikan. Lalu saya tanyakan, apakah Olot Barji bersedia diajak ngobrol malam ini? Ya, bisa, dengan senang hati beliau menemani, tapi memakai bahasa Sunda khas Kasepuhan Banten Kidul.
Olot Barji mulai bercerita dengan logat Sunda Banten Kidul yang memang terasa asing bagi saya, bahkan ada yang sulit dimengerti. Intinya, Situs Cibedug yang terletak di depan rumah Olot, tidak jauh dari arah masuk ke Kampung Cibedug, itu merupakan tanah titipan yang berfungsi sebagai keseimbangan alam. Olot Barji merupakan Olot generasi ketiga yang turun temurun dan sudah beragama Islam. Saat ini, Kasepuhan Cibedug memiliki jumlah penduduk 130 Kepala Keluarga. Mereka berasal dari Sajira, sekitar awal abad ketujuh, masih di wilayah Lebak Banten. Kemudian dari Sajira, sekitar lima abad kemudian, menyebar ke beberapa wilayah di lereng Gunung Halimun dikarenakan bertambahnya jumlah keturunan. Salah satunya di kawasan yang ada aliran sungainya dan terdengar seperti bunyi bedug, jadilah kawasan yang disinggahi diberi nama Cibedug. Saat dicek, tempat yang diduga sebagai sumber bunyi bedug itu ternyata banyak ditemukan batu bulat lonjong, menhir dan susunan batu bulat yang menyerupai punden berundak yang diduga sebagai tempat beribadah generasi dengan budaya yang lebih primitif dibanding dengan susunan batu di Situs Gunung Padang. Sehingga tempat tersebut dijadikan tempat keramat yang harus dijaga dan dilestarikan.
Berbeda dengan Kasepuhan Adat Banten Kidul lainnya seperti Kasepuhan Ciptagelar, Cisitu, Cisungsang, Cicarucub dan Citorek yang memiliki alat kesenian Angklung Buhun, maka Kasepuhan Cibedug ini hanya memiliki alat kesenian Kendang, yang dimainkan sama seperti Angklung Buhun, yaitu hanya pada saat upacara tanam padi dan seren taun. Untuk sumber listrik, sudah 10 tahun menggunakan mikrohidro dan panel tenaga surya. Sedangkan tiang-tiang listrik yang sudah terpasang dari bantuan pemerintah, sudah 2 tahun ini belum berfungsi. Jadi jangan heran jika kita tidak bisa men charger HP maupun laptop. Jadi baiknya membawa power bank! Berbicara masalah pendidikan, di Kasepuhan Cibedug hanya ada Sekolah Dasar saja. Untuk SMP nya berada di Citorek yang letaknya sekitar 4 jam jalan kaki. Jadi, untuk anak-anak yang melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMP, maka harus menginap di Citorek, pulangnya hanya hari sabtu minggu. Untuk masalah kesehatan, belum ada klinik apalagi puskesmas. Jadi jika ada yang sakit, cukup diobati secara tradisional dan menggunakan obat alami dari tanaman yang ada di Cibedug. Bagi ibu-ibu yang mau melahirkan, ada Paraji (seperti bidan) yang akan membantu proses melahirkan. Anak laki-lakinya disunat sama bengkong menggunakan pisau yang sangat tajam sekali. Sepertinya obrolan malam ini dicukupkan saja, karena sudah sangat lelah sekali, dan tidak sabar menanti esok hari untuk melihat langsung Situs Cibedug. Saya pun mengambil posisi tidur dengan posisi kepala di sebelah Selatan dan menghadap Kiblat sesuai anjuran Olot Barji sambil memeluk Alang yang sudah tidur duluan. Saya sempat terbangun karena badan menggigil kedinginan. Tidak ada selimut atau jaket, padahal di ransel sudah saya siapkan buat kenyamanan tidur. Menjelang adzan subuh saya betul-betul bangun karena dari surau kampung terdengar ajakan untuk sholat subuh berjamaah.
Posisi Rumah Olot Barji ada di pusat kampung. Bagian depannya adalah tanah lapang menghadap jalan utama menuju Citorek. Kanan kiri tanah lapang adalah rumah penduduk. Sehingga antara Rumah Olot dan rumah penduduk membentuk huruf U. Rumah-rumah di Kasepuhan Cibedug ini merupakan rumah panggung yang menggunakan umpak dari batu kali sehingga tidak bersentuhan dengan tanah langsung. Materialnya didominasi dari kayu dengan atap berbentuk berbentuk pelana dari bahan ijuk atau daun krei. Meskipun di beberapa rumah sudah menggunakan bahan seng. Ini menandakan bahwa di daerah tersebut bahan ijuk/krei sudah sulit ditemui, meskipun ada, sudah jarang ada orang yang bisa membuat material alam itu untuk atap rumahnya. Layout ruangnya terdiri dari teras, ruang bersama, kamar tidur, ruang makan, 2 kamar tidur, kamar mandi, dapur dengan tungku untuk masaknya (paraseuneu) dan gudang makanan. Rumah Olot terlihat lebih besar dibanding rumah lainnya. Untuk lantainya pun dari kayu, sedangkan yang lainnya dari palupuh (bambu yang dipecah). Mata pencaharian utamanya adalah sebagai petani. Jadi, meskipun cuacanya hujan, para penduduknya sudah sibuk lalu lalang dari pagi buta menuju sawah ladang.
Pola penataan kawasannya bisa menjadi contoh untuk kawasan lain. Seperti obrolan semalam dengan Olot Barji, kawasan Cibedug ini terbagi dalam tiga ruang, yaitu ruang untuk lahan titipan, tutupan dan olahan. Lahan titipan adalah lahan yang tidak boleh dimanfaatkan baik kayu maupun non kayunya, berfungsi sebagai ‘Pancer Bumi’ penjaga keseimbangan alam. Di lahan inilah letak Situs Cibedug berada, yang merupakan titipan generasi masa lalu untuk generasi yang akan datang. Lahan tutupan adalah lahan yang boleh dimanfaatkan non kayunya, berfungsi sebagai penjaga mata air sumber kehidupan. Luasnya sekitar 50% dari luas kawasan Kasepuhan Cibedug. Pantas saja airnya melimpah, segar dan bisa langsung diminum seperti yang saya temui sepanjang perjalanan kemarin. Ruang yang ketiga adalah lahan olahan, yaitu lahan yang dimanfaatkan untuk hunian, pertanian seperti ladang, sayuran dan lain-lain. Luasnya sekitar 20% dengan pertanian utamanya adalah menanam padi yang dilakukan hanya satu kali dalam satu tahun. Bentuk sawahnya terasering mengikuti bentuk lahannya dan terlihat eksotik sekali dari kamera Drone. Sayang, saat ini baru mau mulai musim tanam, jadi yang terlihat hanya tanah sawah yang habis diolah. Sambil menunggu sarapan dan kode dari Olot kapan bisa memasuki area Situs Cibedug. Teman-teman yang lain keliling kampung menikmati pagi dengan gerimis yang tak kunjung berhenti. Mereka memotret bangunan SD satu-satunya yang ada di Cibedug dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sayangnya, tidak ada guru atau siswa yang bisa ditemui karena ternyata hari sabtu itu hari libur sekolah. Saya dan Alang masih asyik menikmati bentang alam Kasepuhan Cibedug melalui kamera Drone. Luar biasa sekali keindahan alamnya dan nampak jelas sekali pembagian ruang tanah tutupan yang masih berupa hutan di puncak, lereng dan lembah, tanah titipan dengan Situs Cibedugnya yang dekat dengan gerbang masuk ke kampung dan tanah olahan berupa pemukiman, sawah, perkebunan, sungai dan jalan akses. Dengan kamera Drone juga saya potret suasanan pagi di Kasepuhan Cibedug. Anak-anak pada berkumpul semua melihat benda yang masih sangat asing bagi mereka. Hasilnya pun, saya perlihatkan ke mereka. Senang sekali bisa berbagi dengan anak-anak yang hidupnya sangat dekat dengan alam.
Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, sekitar jam 10, Olot Barji dan jajarannya telah selesai menyiapkan Situs untuk menerima kunjungan kami. Untuk memasuki Situs Cibedug, harus melewati satu-satunya jembatan yang melintas di sungai Cibedug. Tidak begitu panjang jembatannya, hanya sekitar 6 m, tapi rasa mistiknya mulai terasa saat melewati jembatan dan ditambah lagi dengan suara derasnya aliran sungai yang terhalang batu-batu kali. Sebagai gerbang situs adalah sebuah Batu Lonjong berbentuk Menhir. Saya jadi teringat Obelix, jangan-jangan Obelix pernah mampir ke Cibedug mengambil batu menhir. Menurut Olot Barji, barang siapa yang bisa memeluk batu tersebut maksimal 3 orang, maka diperbolehkan membawa artefak yang ada di situs. Ternyata memang tidak ada yang bisa memeluk penuh batu tersebut. Alhamdulillah, jadi artefak-artefaknya masih tetap terjaga. Setelah gerbang, mulailah memasuki kompleks Cibedug melalui anak tangga dari susunan batu kali yang berjumlah 33 anak tangga. Hati-hati karena batunya sudah berlumut dan terdapat akar pohon serta gerimis, jadi licin sekali tangganya. Di pelataran pertama ini, saya melihat susunan batu yang membentuk dua ruang, yaitu bentuk persegi panjang besar dan kecil, seperti ruang sholat, karena orientasinya ke arah kiblat, ruang yang besar untuk jama'ah dan ruang yang kecil untuk imam. Selain itu, di pelataran lainnya terdapat batu-batu menyerupai batu nisan atau kompleks makam seperti pada umumnya sebuah kompleks Masjid.
Memasuki pelataran berikutnya, terdapat bangunan dari bambu yang di dalamnya ada batu lonjong yang ditempatkan seperti batu nisan. Di sekitar batu tersebut banyak terdapat koin-koin yang dilemparkan oleh peziarah. Naik lagi di pelataran berikutnya, yaitu trap keempat, terdapat batu yang disebut batu kursi dan batu lonjong dengan posisi tidur yang disebut batu lingga. Akses tangga menuju puncak situs, yaitu trap kesembilan, berada di tengah-tengah (sentral/as) situs. Nah di trap keempat ini, di tengah-tengah aksesnya sebelum naik tangga ke trap kelima sampai kesembilan, terdapat ruang seperti tempat menyimpan sesajen yang membagi akses ke kiri dan ke kanan situs. Sampailah saya di puncak situs yaitu trap yang kesembilan. Melihat sekeliling situs dari puncak, nampak sekali situs ini bentuknya simetri segi empat yang disusun berundak, semakin ke atas semakin mengecil. Namun, kondisi saat ini, kawasannya sudah tidak simetris lagi karena di sisi sebalah kanan dari gerbang situs batu menhir ada sungai yang disebut Cibedug. Mungkin ini akibat perubahan alam yang terjadi ribuan tahun yang lalu. Di setiap sudut segi empat trapnya terdapat batu lonjong dengan posisi tidur ke arah sudutnya. Susunan trapnya juga dari batu-batu kali/gunung yang belum diolah. Mungkin ini jadi salah satu petunjuk bahwa budaya orang-orangnya lebih primitif dibanding budaya orang-orang di zaman Situs Gunung Padang.
Selesai mendokumentasikan kawasan Cibedug menggunakan HP, saya turun menuju situs batu tumpeng, batu tulis dan sumur purba yang letaknya terpisah dari pelataran Situs Cibedug. Dinamakan batu tumpeng, karena bentuknya seperti tumpeng atau berbentuk kerucut. Menurut Udin, sejak ditemukannya batu tumpeng, kebutuhan pangan masyarakat Cibedug tercukupi semua dan hasil panennya pun melimpah meskipun setahun sekali dengan kualitas yang sangat baik sekali sehingga bisa bertahan puluhan tahun yang disimpan di ‘Leuit’. Selanjutnya adalah situs batu tulis, yaitu berupa batu dengan dimensi kira-kira 90 cm x 90 cm, bentuknya sudah tidak beraturan dan berlumut. Di setiap sisinya terdapat goresan membentuk huruf atau pola aksara yang sama sekali belum bisa diartikan. Mungkin ini bisa menjadi salah satu petunjuk untuk mengetahui usia dari Situs Cibedug ini. Terakhir, adalah situs sumur dengan letaknya di pinggir sungai Cibedug. Saat ini sumurnya sudah dangkal, mungkin karena tertimbun material pohon dan tanah.
Selesai sudah eksplorasi saya terhadap Situs Cibedug. Saya kembali ke gerbang situs melalui akses yang lainnya. Mencoba mencari sesuatu yang bisa menambah petunjuk keberadaan situs. Sayang waktunya sempit sekali, jadi saat ini cukup untuk melakukan eksplorasi pertama. Kami pun bersiap kembali ke Citorek. Sambil menunggu teman-teman yang lain berkemas, saya ajak Alang untuk belanja di warung kampung untuk bekal diperjalanan pulang. Untuk makan siangnya, saya sudah siapkan nasi, telor, mentimun dan mie yang dibungkus daun pisang dan dimasukkan ke kotak P3K. Lumayanlah, sarapan pagi dibuat bekal buat perjalanan pulang. Pokoknya, perjalanan pulang ini harus lebih nikmat dibanding perjalanan kemarin. Selesai pamitan dan berdo'a, kamipun berjalan bebaduyan ke arah Citorek. Hujan gerimis masih mengiringi langkah kami pulang. Saya katakan ke Alang, kita napak tilas jalur yang dilewati malam-malam dengan gaya prosotan. Jalur tersebut benar-benar sulit ternyata, kali ini lebih sulit karena posisinya tanjakan. Lumpurnya masih dalam karena terus diguyur hujan. Terpaksa Alang saya gendong lagi, tapi kali ini lebih nyaman karena saya memakai sepatu meskipun karet bawahnya sudah lepas. Teman-teman IAI yang lain mau menolong saya membawakan ransel, tapi saya tolak karena buat keseimbangan saya. Perjalanan pulang kali ini lebih nikmat dibanding perjalanan pergi. Meskipun hari masih terang benderang dan hujan terus mengguyur, tetap saja tantangan itu selalu ada. Setiap melalui jalan yang berlumpur, Alang selalu ku gendong karena telapak kaki kirinya yang sobek terasa sakit jika terbenam di lumpur. Alang pun terlihat putus asa melihat jalannya yang bertambah sulit. Untuk menambah semangat, saya ajak menyanyikan lagu-lagu kesukaan Alang seperti lagu yang terlupakan dan pesawat tempurnya Iwan Fals, lagu-lagu perjuangan serta baca sholawat dan mengaji Alqur'an surat pendek. Saat rasa lelah itu memuncak, saya ajak istirahat, sambil menikmati makanan yang saya siapkan dari Cibedug. Untung saya bawa bekal sarapan pagi yang dimasukkan ke dalam kotak P3K dan dibungkus daun pisang. Nikmat sekali nyuapin Alang di puncak jalan dengan pemandangan alam lereng Gunung Halimun. Puncak dari tantangan perjalanan pulang ini adalah turunan terakhir sebelum Kampung Citorek. Alang saya minta jalan dengan gaya prosotan. Begitu sampai di jalan sebelum jembatan, Alang dan saya jalan dengan gaya merangkak dan merayap karena lumpurnya bertambah dalam jika jalan biasa. Sedangkan teman-teman lain ada yang melambung menyebrang sungai dan lewat pematang sawah. Di sini, alas kaki dilepas semua dan tidak bisa dipakai karena penuh dengan lumpur. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga di Rumah Pak Jarot. Kami bersih-bersih di sungai, setelah sholat maghrib kami pamit untuk kembali ke Jakarta. Terima kasih Cibedug, ini adalah perjalanan spiritual yang sangat luar biasa, terutama bagi seorang anak yang baru berusia 6 tahun. Dan bagi saya, perjalanan ini adalah sebuah syare'at untuk mengeluarkan penyakit-penyakit yang ada di badan saya. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya. Cerita ini kupersembahkan untuk anak-anakku : 1. Belati Jagad Bintang Syuhada 2. iLaLang Jagad Boemi Syuhada 3. Gemma Jagad Bulan Syuhada (Tamat.....).

Comments

Popular posts from this blog

Pepadone Wong Serang, Kamus Base Jawe Serang

Asal Usul Jalan Kiyai Haji Sulaiman di Kota Serang Banten

Kisah Gantarawang dan Abah Manta Sang Kuncen Terakhir