Revitalisasi seperti inilah yang akan mengembalikan Kejayaan Banten zaman Kesultanan
Hari ini saya menghadiri undangan Dewan Riset Daerah (DRD)
Provinsi Banten sebagai Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Banten untuk
mendiskusikan penataan Banten Lama (BL). Meskipun mendadak dan banyak agenda
yang sudah direncanakan sebelumnya, tapi saya niatkan untuk memenuhi undangan,
karena BL bagi saya adalah tanah peradaban tempat saya diberi kehidupan. Hadir
dalam diskusi tersebut Prof. Tihami sebagai Ketua DRD, DR. Firman sebagai
anggota DRD, Tb. Najib sebagai Arkeolog, DR. Mufti Ali dari Bantenologi,
Gandung dari Untirta, Banten Heritage, UKM, MUI dan Bappeda Kota Serang.
Alhamdulillah diskusi ini menambah dan memperkaya pengetahuan
saya untuk BL. Pemaparan penataan BL dari Bappeda Kota Serang masih seperti
dulu. Tidak terencana dengan baik, belum tuntas dan tidak matang. Padahal
menurut mereka sudah melalui kajian dari Tim Universitas Indonesia. Tapi
kenyataannya, pelaksanaan fisik hasil kajiannya itu melanggar Undang-Undang
Cagar Budaya (baca tulisan saya di Salah Kaprah Pembangunan Banten Lama).
Tb. Najib, Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional memaparkan konsep
rekonstruksi BL yang sudah dimulai pada tahun 1989 sebagai Penataan BL pertama.
Lalu muncul lagi Penataan BL kedua tahun 2002. Berikutnya tahun 2005 dan 2017.
Penataan BL tahun 1989, dasarnya adalah hasil penelitian selama 12 tahun yang
telah menghasilkan naskah akademik. Penataan tahun 2002, hasil yang urgen
adalah revitalisasi kanal arah selatan Masjid Agung Banten. Penataan tahun
2005, ingin melanjutkan penataan tahun 1989 yang belum tuntas, namun belum
terlaksana. Penataan tahun 2017, nampaknya telah menjadi Masterpiece, program
unggulan Banten. Hanya beberapa bulan setelah pelantikan Gubernur baru, langkah
program pertama adalah mengkonsentrasikan pada BL, "Bebersih"
nampaknya niat bebersih ini sudah direncanakan sebelum terpilih jadi Gubernur.
Persoalannya, bagaimana warisan BL ini menjadi milik bersama, yang didasari
oleh rasa sense of belonging dan sense of responsibility. BL atau Old Banten,
merupakan sebutan popular oleh kolonial, lebih tepat Banten Hilir atau
Downstream untuk membedakan Banten Hulu atau Banten Girang atau upstream,
sesungguhnya yang BL adalah Banten Girang.
Gandung, dari Untirta, telah melakukan survei sosial terhadap
para pengunjung BL dengan metode pengisian form survei. Salah satu hasilnya
adalah, para pengunjung BL itu terbanyak adalah usia di atas 20an tahun.
Berarti BL bukan dijadikan tempat untuk 'pacaran', tetapi merupakan tempat
wisata religius dengan salah satu magnetnya adalah Makam Sultan Banten. Selain
itu, para pengunjung BL ini merupakan pengunjung yang setia, mereka akan terus
kembali lagi meskipun sarana dan prasarananya hancur. Mereka merasa aman, hanya
tidak nyaman saja akibat pengemis-pengemis. Tetapi semuanya sepakat, jika BL
ini butuh dan harus segera di revitalisasi. Sedangkan perwakilan dari UKM
menekankan perlunya menata pedagang kaki lima di zona yang sudah ditentukan.
Pedagang nya pun sebagian besar dari luar Banten, hanya ada oknum tertentu yang
mengelolanya.
Sebagai narasumber penutup, Prof. Tihami menyampaikan bahwa BL
itu jangan hanya direvitalisasi fisiknya saja, tetapi mesti menyeluruh,
termasuk revitalisasi non fisik seperti Budaya dan Karakter. Ada semacam buku
panduan tata cara berwisata di BL, jadi ada etika dan tatakramanya. Beliaupun
meminta Tim dari Untirta untuk melakukan survei tentang pedagang yang ada di
BL, apakah ada korelasinya antara Peziarah, Pengemis dan Pedagang (3P). Siapa
tau pengemis yang ada di BL itu merupakan instrument para peziarah untuk
mendapatkan berkah.
Diskusi berlanjut dengan beberapa tanggapan dari para undangan,
dimulai dari saya. Berbicara masalah BL, harus dikaitkan dengan
Peradaban-Peradaban sebelumnya, karena ini merupakan rangkaian peristiwa yang
tidak bisa dipisah-pisahkan, sehingga penanganan BL itu tuntas, baik dan benar.
Peradaban Nusantara ini dimulai dari Peradaban Situs Gunung Padang, lalu
berkembang ke Peradaban Situs Cibedug, Kerajaan Salakanegara, Kerajaan
Padjadjaran dengan salah satu wilayahnya di Banten Girang dan terakhir adalah
Peradaban Islam Kesultanan Banten di pesisir Teluk Banten.
Oleh karena itu, penataan BL itu sejatinya adalah merevitalisasi
Peradaban Islam zaman Kesultanan Banten baik itu fisik maupun non fisiknya,
bukan membangun sarana dan prasarana (sarpras) baru seperti yang sudah
dipaparkan oleh Bappeda Kota Serang. Jika dibangun sarpras baru, maka
dikhawatirkan akan banyak yang hilang dan rusak. Contoh tadi dipaparkan akan
dibangun akses jalan baru di sekitar kampung Kasunyatan. Nah akses jalan ini
membutuhkan lahan yang mengubah fungsi eksisting seperti pemukiman dan
persawahan yang kemungkinan besar terdapat Situs dan Budaya bertani. Baiknya
adalah dengan merevitalisasi jalan-jalan lama, normalisasi kanal dan Kali
Banten serta mengoptimalkan jalur kereta api yang sudah ada. Di sinilah
pentingnya zona inti itu diperluas, jangan hanya di wilayah yang tadi
dipaparkan. Idealnya, zona inti itu sekecamatan Kasemen dan beberapa wilayah
yang ada di Kabupaten Serang seperti Tirtayasa dan Tasikardi. Mungkin
sekelurahan Banten bisa juga dijadikan zona inti. Untuk zona pendukungnya
dibuat di wilayah Kota Serang. Di situlah boleh dibangun sarpras baru seperti
fasilitas transit, terminal dan tempat parkir. Selanjutnya, untuk akses ke BL
nya bisa dengan transportasi seperti masa Kesultanan Banten dan Kolonial, bisa
naik perahu melalui Kali Banten dan kanal, naik delman dan kereta api.
Kampung-kampung lamanya di tata dan dihidupkan kembali kebudayaan membuat
grabah di Panjunan Sukadiri (sekarang menjadi terminal yang terbengkalai) yang
menurut Tb. Najib merupakan grabah untuk Kesultanan Banten, sedangkan untuk
rakyatnya ada di kampung yang dekat dengan bendungan karet saat ini. Selain
itu, aktivitas masyarakatnya yang bertani juga tetap dijaga, karena terkait
dengan nama Serang yang berarti sawah dengan sistem irigasi dan pengolahan air
yang mencapai masa keemasan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Ada juga yang
berprofesi sebagai nelayan dan pedagang dengan pelabuhan dan pasar
Karangantunya. Pedagang kaki lima bisa berjualan di zona inti tapi dikemas
dengan model suasana zaman Kesultanan Banten. Jadi, peradaban-peradaban inilah
yang harus di revitalisasi karena mempunyai nilai Budaya yang sangat tinggi dan
unik yang tidak dimiliki di tempat lain.
Untuk itu, dibutuhkan suatu lembaga khusus menangani BL,
bentuknya bisa seperti Badan Otorita Banten Lama (BOBL). Lembaga inilah yang
bisa dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para stakeholder yang punya mimpi
bersama membangkitkan kembali kejayaan Banten zaman Kesultanan. Di situ ada
Kesultanan Banten yang akan berperan sebagai Entitas Budaya. Ada Kenadziran
yang akan berperan untuk mengurus Masjid dan Makam. Ada pemerintah dan
akademisi serta tokoh masyarakat yang berperan sebagai regulator, penyandang
dana dan fasilitator.
Sebagai penutup diskusi, perwakilan dari Banten Heritage dan DR.
Mufti Ali, menegaskan kembali perlunya zonasi dalam revitalisasi BL. Harus
jelas mana batasannya, karena hasil kajiannya bersama dengan ahli sejarah dari
Perancis, menyimpulkan bahwa tembok yang ada di Benteng Speelwijk itu merupakan
tembok Kota Kesultanan Banten. Selain itu, kajian dari Bappeda Kota Serang
harusnya jangan mengulang kajian-kajian yang sudah ada dengan sumber dari
Belanda. Coba dilengkapi dengan kajian-kajian baru yang bersumber dari India,
Iran dan Persia. Karena, Banten itu tercatat juga dalam manuscript di negara India,
Iran dan Persia.
Demikianlah
hasil rangkuman diskusi mengenai Penataan Banten Lama, semoga kita semua
dimudahkan dan dilancarkan sehingga mimpi kita semua, dengan Semangat
Kebantenan #SpiritOfBanten untuk membangkitkan kembali Kejayaan Banten zaman
Kesultanan bisa segera terwujud.
Comments