Bertemu dengan Teman-Teman Kecil di Gunung Kerinci

Sudah menjadi tradisi kami, Perhimpunan Penjelajah Alam (PPA) Jamadagni SMAN 3 Bandung, melakukan kegiatan ekspedisi sebagai salah satu syarat untuk menjadi anggota penuh dan punya nomor registrasi. Ekspedisi tersebut dilakukan oleh Anggota Muda (AM) yang sudah lulus Pendidikan Dasar, dari mulai usulan kegiatannya, tujuannya sampai dengan laporannya. Tentunya dibimbing oleh para seniornya yang sudah memiliki pengalaman dan jam terbang dalam melakukan kegiatan ekspedisi. 

Tahun 1994, saya sudah jadi anggota penuh PPA Jamadagni dan punya kewajiban membimbing dan mendampingi ekspedisi yang dilakukan oleh AM di bawah saya. Ekspedisi yang dipilih adalah mendaki Gunung Dempo - Merapi - Kerinci dan Gunung Tujuh di Pulau Sumatera.
Untuk Gunung Dempo, Merapi dan Gunung Tujuh nanti saja yah, saya langsung saja ke Gunung Kerinci, sebuah gunung api tertinggi di Indonesia, 3805 mdpl. Terletak di perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Barat. Kami memulai pendakian dari jalur Desa Kersik Tuo, Sungai Penuh, Provinsi Jambi.
Berbeda dengan pendakian ke Gunung Dempo yang dilakukan dengan cara membuka jalur sendiri (istilah kami "nerabas"), Gunung Kerinci ini kami daki melalui jalur yang sudah jadi, atau biasa disebut jalur wisata. Gunung ini merupakan bonus bagi kami karena tenaga dan pikiran telah habis tersedot menerabas lebatnya hutan Gunung Dempo. Jalur pendakian Kersik Tuo ini akan melalui Basecamp, Pintu Rimba, Pos 1, Pos 2, Pos 3, Shelter 1, Shelter 2, Shelter 3, Tugu Yuda dan Puncak Kerinci. 
Dari Basecamp ke Pintu Rimba, kami numpang mobil pick up yang biasa digunakan untuk antar jemput para pemetik teh. Ya...! Pick up ini melintasi perkebunan teh Kayo Aro yang merupakan perkebunan teh terluas di dunia. Setelah registrasi, pick up terus berlanjut ke Pintu Rimba. Turun dari pick up, perjalanan dimulai melewati perkebunan teh dengan jalanan yang sudah keras meskipun berupa tanah yang diberi bebatuan hingga sampai diperbatasan antara perkebunan teh dengan hutan. Sebuah gapura dengan bangunan tua yang tidak terawat akan mengawali pendakian.


Jalur awal ini bisa dikatakan sebagai jalur pengumpulan tenaga, karena dari sinilah pendakian dimulai. Jalurnya berupa jalan setapak dan landai. Tiba di Pos 1, kami istirahat sebentar dengan duduk-duduk di batu panjang yang ada di area tanah lapang dan shelter. Jalur menuju Pos 2 pun hampir sama dengan sebelumnya, hanya mulai menanjak sedikit. Menjelang sore, kami tiba di Pos 3, tapi kami putuskan ngecamp di atasnya lagi, karena melihat jalur yang kami lalui sampai Pos 3, merupakan jalur yang sangat rawan dan sering dilalui binatang buas seperti Harimau.
Tempat kami ngecamp hari pertama adalah sebuah tanah datar yang di kelilingi pohon-pohon besar dan pohon pandan. Sebuah tempat yang aman dan nyaman, meskipun belum mengetahui ada sumber air atau tidak. Kalau ekspedisi, tradisi kami tidak membawa tenda. Lebih baik membawa perbekalan makanan yang banyak dibanding bawa tenda. Jadi yang kami lakukan adalah membuat bivak, yaitu gubug kecil setinggi 1 m dari cabang ranting pohon dan atapnya memakai dedaunan. Sengaja dibuat rendah supaya hangat dan aman.
Selesai membuat bivak dan mengumpulkan kayu untuk bahan api unggun, kami mulai menyiapkan makan malam yang mewah. Maklum ini malam pertama dan perbekalan masih utuh dan komplit, cukuplah untuk seminggu buat jaga-jaga. Api unggun dinyalakan dan makanan sudah siap. Kami makan dengan lahapnya dalam kehangatan api unggun. Setelah makan, teman-teman ada yang langsung istirahat rebahan dalam bivak, ada juga yang masih di dekat api unggun sambil ngopi dan ngelinting tembakau (bukan ganja yah 😋). Sayang sekali langit malamnya tertutup tudung pohon sehingga tidak bisa menikmati kerlap kerlip benda langit atau seliweran bintang jatuh.
Dari balik pohon pandan, muncul binatang yang berwarna putih menghampiri kami yang ada di dekat api unggun. Semuanya kaget menjerit karena muncul dengan tiba-tiba, bergerombol, wujudnya seperti tikus sebesar kucing atau kelinci. Teman-teman yang lain langsung masuk ke dalam sleeping bag di bawah bivac. Saya amati binatang itu, wanginya enak sekali, harum wangi pandan. Mereka mendekati api unggun, sepertinya hanya sekedar buat menghangatkan tubuhnya seperti kami.
Ada sekitar setengah jam tikus-tikus besar itu menghangatkan badannya, sampai akhirnya mereka berlari ketakutan ke arah pohon pandan. Saya bertambah kaget karena ada sesosok bayangan kecil tapi lebih besar dari tikus tadi....., seperti manusia yang menghampiri dan mendekati api unggun. Lalu jongkok di depan api unggun. Telanjang, hanya pakai celana seperti cawat yang menutupi alat vitalnya, rambutnya gondrong. Saya tertegun dan merinding. Anak siapa ini, malam-malam main di hutan. Apa ada kampung di sekitar sini, perasaan ini di atasnya pos 3. Sesama pendaki juga bukan, kecil sekali tubuhnya, di bawah 1 meter, seperti orang kate. Untungnya hanya 1 tidak bergerombol seperti binatang tadi. Tapi kenapa pada takut yah binatang itu? Ke kami malah nyamperin. Uh... tambah merinding sambil mulut ini tidak berani bertanya langsung.
Anehnya itu makhluk diam saja di depan api unggun, melirik apa lagi melihat saya pun tidak. Matanya hanya tertuju di api unggun. Syukurlah dia seperti binatang tadi, hanya untuk menghangatkan tubuhnya saja. Tak lama kemudian, makhluk itu pun pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, boro-boro terima kasih, salam pun dia tidak ucapkan. Saya lihat teman-teman kok enak sekali tidur nyenyak sambil mendengkur, sementara saya masih terbayang-bayang sama makhluk tadi. Sampai akhirnya saya pun tertidur dan pasrah pada Allah SWT bila ada makhluk lain yang datang. Sebelumnya, saya matikan dulu apinya, supaya tidak mengundang makhluk-makhluk lainnya yang ingin menghangatkan tubuh.
Pagi pun akhirnya datang, dan saya bangun paling akhir. Jadinya nggak enak, karena badan menggigil kedinginan begitu keluar dari sleeping bag, sementara api sudah padam dan teman-teman sudah selesai masak untuk sarapan pagi. Saya pun tidak mau menceritakan kejadian semalam, lebih baik cepat-cepat menyelesaikan sarapan dan berkemas untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang, harus melalui Shelter 1, 2, 3 dan Tugu Yuda sebelum menggapai Puncak Kerinci.
Pendakian dilanjutkan kembali dengan jalur yang lebih menanjak dibanding sebelumnya. Di jalur inilah mulai terasa yang namanya naik gunung. Kami terus mendaki meskipun jalur semakin berat, supaya menjelang sore atau maksimal pas maghrib kami harus sudah sampai di Shelter 3 sebagai camp terakhir. Setelah itu sekitar jam 2 atau 3 paginya menuju Puncak Kerinci untuk menikmati Sunrise.
Alhamdulillah akhirnya, sebelum waktu ashar kami sudah sampai di Shelter 3. Entah ini cuacanya mendung atau berkabut, saya minta salah satu AM untuk cepat-cepat mengumpulkan kayu untuk persiapan membuat api unggun. Ini harus dilakukan karena di ketinggian mulai 3000 an meter itu rawan terserang udara yang sangat dingin atau hipotermia. Sementara yang lainnya membuat bivak dan menyiapkan makan sore.
Saat kami mau menyantap makan sore, tiba-tiba ada suara dari arah jalur masuk Shelter 3. 
"...selamat sore, salam rimba...!"
Nampak seorang bapak berjalan ke arah kami sambil menggendong anak kecil di depan dan ransel di punggungnya. Wah gagah sekali. Ternyata bapak itu datang dari arah puncak. Berarti bapak itu bukan baru sampai Shelter 3. Jadi anak yang digendongnya juga bukan anak yang datang semalam. 🥴
"..baru sampai...?" Tanya bapak itu sambil menurunkan putrinya dan ransel.
"..iya pak, baru turun dari puncak...?" Jawab saya sambil bertanya balik.
"Yah...! Tepat sekali waktunya, pas mulai turun hujan dan kabut sudah sampai di shelter ini..."
"Alhamdulillah, ayo pak sekalian ikut makan..."
Sambil makan, kami saling memperkenalkan diri, ternyata si bapak adalah salah satu anggota Wanadri, namanya Totok dan anaknya Lindri. 
Hebat...! Anak sekecil itu, perempuan lagi, sudah diajak naik turun gunung. Jawa, hampir semua sudah didaki, sekarang giliran gunung-gunung di Sumatera. Selain naik gunung, Mas Totok, begitu saya panggil, juga membuat kegiatan lomba lintas alam dengan branding nama anaknya, Lomba Lintas Alam Lindri Land Rock.
Setelah makan selesai, Mas Totok mengajarkan kami cara membuat api unggun yang baik dan benar. Meskipun hujan, bara api tetap terjaga dan jika diberikan kayu yang kering, apinya cepat membakar kayu tersebut. Tak lupa, dengan wejangannya untuk melihat sunrise terbaik di Puncak Kerinci dan jalur yang harus ditempuh, karena ini sudah mendekati puncak, jadi tidak ada vegetasi, hanya pasir dan bebatuan, ditambah lagi sudutnya 60° lebih.
( Alhamdulillah saya bisa berkomunikasi lagi dengan Mas Totok dan Mbak Lindri di facebook tahun 2019, https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10156222781587854&id=576452853 , terima kasih atas ilmu dan wejangannya semoga diberikan kesehatan, keberkahan dan kesuksesan oleh Allah SWT).
Di Shelter 3 ini, kami bermalam dan beristirahat dengan nyenyak sekali tanpa gangguan apa pun. Sekitar jam 2 pagi buta, kami menuju Puncak Kerinci dengan medan yang sangat sulit sekali. Selain terjal dengan sudut yang curam, juga jalurnya berupa bebatuan dan pasir sehingga terkadang tergelincir. Akhirnya, jam 4 lebih kami sampai di Puncak Kerinci dan bisa menikmati Sunrise Terbaik dari gunung api tertinggi di Indonesia.


Setelah puas menikmati bentang alam dari Puncak Kerinci, kami turun ke Shelter 3 dan bersiap-siap untuk kembali ke basecamp hari itu juga. Terima kasih Tuhan, masih diberikan kesempatan untuk menikmati keindahan Bumi Indonesia Raya dengan bonusnya bertemu dengan 3 jenis teman-teman kecil yang unik, mengagetkan dan hebat.
Saat sampai di basecamp, saya tanyakan kepada pemilik basecamp, siapa makhluk kecil yang datang tengah malam di sekitar Pos 3. Ternyata makhluk itu merupakan salah satu legenda penghuni Gunung Kerinci yang masih diteliti dan terkadang hanyalah mitos dari mulut ke mulut. Makhluk kecil tersebut diberi nama "Uhang Pandak". Selain gerakannya lincah dan cepat, telapak kakinya terbalik..! Wah, saya malah tidak fokus ke telapak kakinya.

Comments

Popular posts from this blog

Pepadone Wong Serang, Kamus Base Jawe Serang

Asal Usul Jalan Kiyai Haji Sulaiman di Kota Serang Banten

Kisah Gantarawang dan Abah Manta Sang Kuncen Terakhir