Momentum Pengembangan Energi Terbarukan
Kenaikan harga minyak yang menembus angka US$ 100/barel memiliki implikasi yang luas bagi ekonomi Indonesia. Selain meningkatkan penerimaan migas sekaligus juga meningkatkan angka subsidi bahan bakar minyak (BBM) hingga 70 triliun termasuk subsidi PT PLN (Persero) yang mencapai 27 triliun. Sehingga diperlukan pengelolaan keseimbangan penerimaan migas dan subsidi BBM. Meningkatnya harga minyak mentah ini merupakan momentum pengembangan energi terbarukan. Tak ada pilihan lain.
-----
Pemerintah Indonesia bertekad untuk mempercepat pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan. Bahkan pemerintah telah mengeluarkan insentif, baik fiskal maupun non fiskal bagi pengembang energi terbarukan ini.
Untuk insentif fiskal sebagaimana diberlakukan dalam harga jual pembangkit listrik energi terbarukan diberikan tarif khusus. Sedang untuk insentif non fiskal, sebagaimana diatur dalam PP nomor 3 tahun 2005, pengembangan energi terbarukan tidak perlu diberlakukan proses tender.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi yang disetujui DPR pada Juli 2007 lalu diharapkan dapat menjadi acuan pemberian insentif. Beberapa poin yang diusahakan masuk dalam paket insentif tersebut di antaranya adalah keringanan pajak, bahkan bisa juga pembebasan pajak untuk kegiatan-kegiatan tertentu.
Sementara Peraturan Pemerintah (PP)-nya diperkirakan selesai akhir tahun 2007 atau paling lambat awal tahun 2008. "Setelah itu, baru bisa ditetapkan apa saja yang masuk dalam skema insentif tersebut," jelas Direktur Pengawasan Program Kelistrikan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Emy Perdanahari, 18 September 2007 lalu. Salah satu pos insentif pajak yang menjadi prioritas adalah pengadaan peralatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang sebagian besar diimpor dari luar negeri.
Sejak awal, lanjutnya, pemerintah sudah menyiapkan skema insentif bagi program pengembangan bahan bakar atau energi terbarukan, tidak hanya bagi PLTS. Namun, jika dikaitkan dengan keterbatasan pasokan listrik, terutama di pedesaan, pengembangan PLTS termasuk prioritas.
Instalasi PLTS memang dibagikan untuk warga di daerah yang belum terjangkau PLN. Salah satunya adalah Kalimantan Tengah (Kalteng). Di daerah ini pada 2007, dibangun sekitar 1.900 unit PLTS baru, menambah 2.800 unit yang sudah terpasang sejak 1994. Tambahan PLTS ini diharapkan mengurangi jumlah desa yang belum terlistriki. Dari total 1.416 desa di Kalteng, 800-an desa di antaranya belum terjangkau layanan listrik. PLTS tambahan dari Departemen ESDM itu
ditempatkan di lokasi terpencil Kabupaten Barito Selatan, Barito Utara, Lamandau, Kapuas, Murung Raya, Seruyan, Sukamara, Katingan, dan Gunung Mas.
-----
Badan dan kementrian yang menonjol mengembangkan energi terbarukan yakni Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Salah satu kegiatan yang perlu dicatat dari KNRT pada 2007 yakni pengembangan prototype energi mandiri di Rotendao, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan wilayah Belu (perbatasan NTT dan Timor Timur). Di dua wilayah tersebut tengah dibangun Pusat Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida yang mengakomodasikan tenaga angin, surya, dan biodiesel.
Agus Rusyana Hoetman, pakar energi yang juga menjabat sebagai Asdep Urusan Perkembangan Rekayasa Kementerian Negara Riset dan Teknologi berharap akhir 2007, bisa terbangun pembangkit listrik yang bisa dihasilkan dari sumber daya matahari, angin, dan biodiesel.
KNRT juga mengembangkan biodiesel dalam prototype yang dibuat standar untuk industri kelas menengah, yaitu di wilayah Ogam Komering Ulu Timur dan wilayah Tonga, Kalimantan Selatan. Keduanya akan bersumber dari CPO (crude palm oil) maupun jarak.
Sementara itu BPPT mengembangkan tenaga bayu dan teknologi gelombang arus air laut. Pada 2010, listrik tenaga bayu berkapasitas 100-200 kilowatt dengan teknologi material turbin yang kuat, ringan, dan ulet dan tenaga gelombang arus laut ditargetkan akan menjangkau desa-desa yang selama ini belum mendapat aliran listrik.
Menurut Kepala BPPT Said D. Jenie, BPPT sedang mencari teknologi material bahan turbin yang ringan agar bisa bergerak dengan kecepatan yang tidak terlalu besar, seperti yang ada di kebanyakan daerah di Pulau Jawa. Tantangan terbesar BPPT saat ini, adalah menemukan material turbin yang ringan dan bisa dibuat lebih panjang, agar bisa dipasang di Pulau Jawa yang kecepatannya relatif rendah.
Selain tenaga bayu, BPPT juga tengah mengkaji teknologi gelombang arus air laut untuk mengaliri listrik desa-desa di kawasan pesisir pantai. "Saat ini tengah dikembangkan pembangkit listrik berkekuatan 10-15 kilovolt untuk memasok listrik bagi pedesaan di kawasan pesisir," katanya.
BPPT juga telah melakukan uji coba Pembangkit Listrik Tenaga Ombak (PLTO) di Pantai Parangracuk di Yogyakarta 22 Juni 2007 lalu. Model konstruksi persegi
panjang dengan kemiringan 45 derajat merupakan PLTO yang pertama dibangun di Indonesia. Dalam tahap uji coba ini menghasilkan kapasitas 1 Kva. Namun, hingga akhir tahun 2007 akan ditingkatkan hingga 10 Kva.
Menurut Ir Rustino, Mst, Kepala Balai Pengkajian Dinamika Pantai BPPT Yogyakarta, ketinggian ombak yang dibutuhkan PLTO Parangracuk ini dalam kisaran 7 hingga 11 meter, sedangkan saat uji coba dilaksanakan ketinggian ombak masih sekitar 1,8 meter.
Seperti model PLTO lainnya yang pernah dibuat, PLTO Parangracuk ini juga menemui kendala teknis, yaitu medan lokasi yang cukup berat. Selain itu, kendali PLTO sebagian besar masih dikerjakan secara manual. Akibatnya, prototipe PLTO yang dibuat berdasarkan penelitian sejak 2003 ini, memerlukan investasi cukup besar termasuk saat memasuki tahap produksi nanti. ''Sekitar tiga hingga lima kali lebih mahal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil,'' ujarnya.
Paket model prototipe ini memiliki tingkat efisiensi energi yang dihasilkan serta parameter minimal hidro oseanografi yang layak, baik secara teknis maupun ekonomis untuk melakukan konversi energi.
Energi laut merupakan alternatif energi terbarui termasuk sumberdaya non-hayati yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Selain menjadi sumber pangan, laut juga mengandung beraneka sumberdaya energi yang keberadaannya semakin signifikan untuk mengantisipasi berkurangnya pasokan energi konvensional. Sedangkan, energi ombak adalah energi alternatif yang dibangkitkan melalui efek osilasi tekanan udara (pumping effect) di dalam bangunan chamber (ruang) akibat fluktuasi pergerakan gelombang yang masuk ke dalam chamber.
Secara umum, ada dua tipe energi yang dihasilkan laut, yaitu energi dari kandungan air laut, perbedaan suhu dan salinitas (termodinamika) serta energi gelombang dan arus (mekanik/kinetika). ''Posisi geografis Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa, memiliki lautan luas serta garis pantai yang sangat panjang sehingga tersimpan potensi sumber energi alternatif yang sangat besar,'' ujar Rustiono.
Pernyataan senada juga dilontarkan Profesor Thomas J Goreau, penyandang gelar PhD dalam bidang biokimia dari Harvard University. Ia berpendapat energi tidal murah infrastrukturnya dan paling melimpah di Indonesia dan Filipina ini dapat memenuhi kebutuhan energi negara maritim.
Energi tidal (arus bawah laut) terkonsentrasi di negara-negara kepulauan yang memiliki banyak selat dan menjadi lintasan arus bawah air laut yang kuat. Potensi terbesar dari seluruh wilayah lautan di dunia berada di Indonesia dan
Filipina. Sayangnya, teknologi tidal ini belum banyak dilirik pemerintah kedua negara sebagai energi alternatif yang menjanjikan.
Prinsip kerja energi tidal ini sangat sederhana. Baling-baling dipasang di selat atau tempat lintasan arus bawah lautan. Baling-baling akan bergerak karena arus laut dan menggerakkan turbin yang akan menghasilkan energi listrik.
Sejumlah kawasan di Amazon telah menerapkan pemanfaatan energi tidal. Konsep serupa dapat diterapkan di wilayah terpencil di kepulauan Indonesia yang selama ini belum terjangkau energi listrik. Perhatian terhadap energi tidal masih kalah dengan energi solar yang masih sangat mahal. Thomas menyatakan, energi solar sangat mahal karena sel solar diproduksi terbatas dan permintaan sangat tinggi. Energi solar juga sangat dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari dan hanya bisa diperoleh sepanjang siang. Berbeda dengan energi tidal yang terus tersedia siang dan malam. Energi ini tak banyak dipengaruhi oleh cuaca.
BPPT juga melirik pohon aren untuk sumber energi alternatif. Tanaman yang masuk keluarga palma itu memang serbaguna. Hampir semua bagian tanaman aren dianggap berguna bagi manusia, baik untuk pangan maupun energi terbarukan. Pohon aren yang bernama latin Arenga pinnata merr ini, merupakan tanaman yang bisa menghasilkan bahan bakar alternatif. Karena kandungan alkoholnya potensial dijadikan bioetanol.
Pada 2008, BPPT menargetkan pembuatan prototipe mesin destilasi aren dengan kapasitas 200 liter/hari. Aren yang sebagian besar dikonsumsi dalam berbagai bentuk produk pangan dan minuman ini, berpotensi diolah menjadi ethanol (bahan bakar terbarukan).
“Mesin destilasi ini memiliki kemampuan operasional hingga 24 jam. Harganya cukup murah sekitar Rp 15 juta rupiah. Namun, jika dilengkapi dengan fasilitas evaporator untuk uapkan ethanol yang mampu tahan lama, bisa mencapai Rp 20 juta,” ujar Dr Arief Budiarto, peneliti Balai Etahonol BPPT Lampung saat dihubungi melalui telepon wartawan Tech-Indo beberapa waktu lalu.
Sedangkan desain bangunan yang diperuntukkan untuk pengolahan aren, tergantung masing-masing kebutuhan pengusaha aren tersebut. “Semakin dekat lokasi perkebunan, maka nilai energi yang dihasilkan bisa lebih murah,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Hari Purwanto, Asisten Deputi Program Tekno Ekonomi Kementerian Negara Riset dan Teknologi, prospek aren sebagai bahan bakar terbarukan sangat baik. “Nira aren sebagai sumber energi terbarukan masuk buku putih Ristek untuk program 2010-2015,” ujarnya.
Dibanding singkong, nilai energi dalam bentuk ethanol yang dihasilkan dari aren, jauh lebih rendah. “ Satu hektar singkong hanya mampu memproduksi 4500 liter ethanol. Sedangkan, dari aren bisa menghasilkan 56 ton ethanol,” ujarnya.
Perkebunan aren tersebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti Minahasa (Sulawesi Utara), Rejanglebong (Bengkulu), serta di Jawa Timur. Sebagian diolah sebagai minuman keras, bahkan di Jawa Timur, pohonnya ditebangi untuk dibuat campuran produk bihun.
-----
Pada 2007, pemerintah telah mengembangkan berbagai sumber energi alternatif pengganti BBM. Yakni antara lain dengan memanfaatkan coalbed methane (CBM)- (Gas Methane Batubara (GMB)). CBM adalah gas methane (CH4) yang terperangkap dalam microcope atau pori-pori batubara melalui proses biogenic.
Indonesia memiliki cadangan CBM yang cukup besar yaitu sekitar 450 Trilliun Cubic Feet (TCF) atau ketujuh di dunia. Volume yang hampir sebesar kandungan gas alam ini tersebar di 11 basin. Yakni di cekungan Sumatera Tengah (52,50 TCF), cekungan Ombilin (0,50 TCF), cekungan Sumatera Selatan (183 TCF), cekungan Bengkulu (3,6 TCF). Kemudian cekungan Jatibarang (0,8 TCF), cekungan Kutei (80,4 TCF), cekungan Barito (101,6 TCF), cekungan Pasir dan Asam-Asam (3,0 TCF), cekungan Tarakan Utara (17,50 TCF), cekungan Berau (8,4 TCF) dan cekungan Sulawesi Selatan.
Hingga saat ini sudah masuk sebanyak 50 buah proposal investor yang mengajukan pengembangan potensi CBM. Mereka memilih berbagai Wilayah Kerja (WK) CBM yang tersebar di berbagai lokasi di tanah air. ”Saat ini proposal yang masuk itu tengah di kaji dan di proses lebih lanjut,'' ujar Dirjen Migas Luluk Sumiarso, 4 Januari lalu di Jakarta.
Ke 50 proposal itu rinciannya adalah 10 proposal pada Wilayah Terbuka, 9 proposal pada WK Migas, 30 proposal pada wilayah KP/PKP2B dan 1 proposal pada wilayah tumpang tindih antara WK Migas dengan KP (Kuasa Penambangan) / Perjanjian Karya pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Mengenai masalah regulasi soal CBM, diungkapkan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro regulasi atau aturan pengembangan CBM mengikuti aturan untuk pengembangan migas. Namun yang membedakan adalah bagi hasil atau split. Sebab, jangka waktu untuk mendapatkan produksi pertama lebih lama dibanding lapangan migas. Jika lapangan migas berkisar 6 hingga 7 tahun, maka CBM butuh hingga 9 tahun.
"Split untuk kontraktor pengembang CBM lebih besar dibanding Migas. Karena waktu untuk pengembangan CBM lebih lama dibanding Migas. Sebab, saat pengeboran awal yang keluar itu adalah air sebelum keluar gas. Sehingga
investor butuh pay back untuk modal yang ditanam," ujar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro.
Gambaran split untuk CBM berkisar 45 % untuk kontraktor dan 55 % untuk pemerintah. Sedang aturan main sepenuhnya mengikuti migas. Namun karena CBM itu berada di tambang batubara maka prioritas kita berikan kepada PKP2B," ujar Dirjen Migas Luluk Sumiarso.
Hal ini, menurut pendapat Kepala BP Migas Kardaya Warnika akan menghambat pengembangan CBM. Pasalnya proses kerja CBM dan batubara sangat berbeda. Sehingga, meski wilayah kerjanya tumpang tindih, proses pengembangan CBM tidak akan mengganggu kegiatan penambangan batubara yang berada di atasnya.
Untuk itu, ia berpendapat untuk pengembangan CBM perlu mengubah Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 33 tahun 2006 soal CBM. Ia melihat salah satu pasal di peraturan menteri tersebut justru menghambat pengembangan CBM. Pasal yang dimaksudkannya itu menyebutkan jika terdapat wilayah tumpang tindih, maka salah satu pemegang wilayah baru dapat melakukan kegiatan CBM apabila sudah bersepakat dengan pemegang PKP2B atau Kontraktor Batubara di wilayah kerja tersebut. Padahal, katanya sekali lagi, proses kerja CBM dan batubara sangat berbeda.
Selama ini, CBM belum dimanfaatkan bahkan dianggap sebagai masalah yang mengganggu dan berbahaya bagi industri pertambangan batubara. Di dunia sendiri, meski CBM sudah cukup lama dikenal, namun sumberdaya gas batubara ini baru dieksploitasi dan diproduksi dalam jumlah besar oleh perusahaan-perusahaan besar di Amerika dan Australia baru pada tahun 1980-an. Sedangkan China saat ini sedang mengembangkannya.
CBM sebagai alternatif energi siap meramaikan kebutuhan sumber energi alternatif yang jumlahnya akan sangat besar di dalam negeri dan luar negeri. CBM disamping biofuel memang harus diimplementasikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. ** (Sumber : berbagai media Indonesia, ant, technology indonesia-ardan)
Comments