Banten, Peradaban Dunia yang Dihancurkan Oligarki..!

Di wilayah ini, pesona Peradaban Dunia terhampar begitu hebatnya. Kekayaan dan keunikan budayanya pun, punya daya tarik sendiri. Ditambah kearifan lokal masyarakatnya dalam mengatur tata ruang, telah menjaganya menjadi Peradaban Dunia yang paling lengkap dalam satu wilayah dan masih bisa dinikmati sampai saat ini.

Pernah kah kalian mendengar Situs Cibedug, sebuah situs prasejarah peninggalan Budaya Megalitikum berupa punden berundak enam teras yang terlihat di permukaan tanah dengan sejumlah altar dan menhir pada terasnya.

Pernah kah kalian mendengar Wewengkon Kanekes (Baduy) dan Kasepuhan Banten Kidul, sebuah masyarakat adat yang masih menjaga keseimbangan alamnya dan hidup berdampingan secara damai di lereng pegunungan Kendeng dan Halimun.

Pernah kah kalian mendengar Salakanagara, sebuah Kerajaan yang diyakini sebagai kerajaan paling awal di Nusantara dan dipercaya sebagai kerajaan leluhur suku Sunda, diperkirakan berdiri pada abad ke-2 Masehi.

Pernah kah kalian mendengar Kesultanan Banten, sebuah kerajaan yang berdiri pada abad ke-16 Masehi dan merupakan salah satu pusat peradaban Islam paling komplit di Dunia.

Pernah kah kalian mendengar VOC, sebuah kongsi dagang dari Belanda yang menghancurkan dan menghapuskan Kesultanan Banten dan menjajah Nusantara.

Semuanya itu ada di Banten, sebuah provinsi di ujung Barat Pulau Jawa hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat tahun 2000.

Wewengkon Kanekes (Baduy) dan Kasepuhan Banten Kidul

Bermukim dalam tradisi masyarakat Banten tidak hanya sebagai tempat tinggal, di sinilah masyarakat melakukan ritual kehidupan. Ketika alam menyediakan sumber kehidupan, maka di situlah terjadi bentuk komunikasi antar individu, keluarga, masyarakat, sesama makhluk hidup dengan alam dan Penciptanya.

Tradisi tersebut tertuang dalam falsafah hidup “Leuweung Hejo Rakyat Ngejo“, Hutannya Hijau, Rakyatnya Makmur. Mereka punya kawasan yang disebut Tanah Tutupan, Titipan dan Olahan. Tanah Tutupan merupakan hutan yang boleh dimanfaatkan non kayunya. Luasnya ±51,2% dari luas kawasan tempat sumber air berada. Tanah Titipan adalah tanah yang dijaga dan dilestarikan untuk keseimbangan alam, berupa hutan dengan luas ±37,7% yang tidak boleh dimanfaatkan kayu dan non kayunya. Bahkan yang boleh memasukinya hanya Ketua Adat, itupun setahun sekali. Sisanya ±11,1% merupakan Tanah Olahan yang dimanfaatkan untuk perkampungan, persawahan dan lainnya.

Untuk Ketahanan Pangan, tahun 2012, Kasepuhan Banten Kidul menerima ‘Adhikarya Pangan Nusantara’ peringkat kesatu Nasional. Lahan persawahannya (±10,4%) mampu memenuhi lumbung padi (leuit) yang jumlahnya ribuan. Bahkan, ada padi yang usianya puluhan tahun masih layak dimakan dan dikeluarkan saat Upacara Seren Taun. Ini bukti hasil padinya melimpah dan tidak habis di makan sendiri walaupun panennya sekali setahun. 

Untuk ketahanan lingkungan binaannya, belum pernah terdengar kejadian bencana alam yang diakibatkan ulah tangan manusia. Tanah Tutupannya mampu memberikan mata air dan cadangan yang melimpah sebagai sumber kehidupan. Keseimbangan alamnya pun tetap terjaga dengan adanya Tanah Titipan.

Untuk ketahanan papan, banyak tersedia material seperti kayu, bambu, ijuk, batu, pasir untuk membangun permukimannya. Cara membangun rumahnya dengan bergotong royong dan bisa selesai hanya dalam sehari saja. Polanya pun tertata dengan baik yang mengutamakan keserasian Adat, Agama/Kepercayaan dan Negara yang diwakili oleh Rumah Adat, Masjid dan Pendopo. Ketiga bangunan tersebut dikelilingi oleh lima bangunan yang melambangkan dasar adat ‘Tilu Sapamulu Dua Sakarupa Nu Hiji Eta-Eta Keneh‘, rukun Islam dan Dasar Negara Pancasila. Kasepuhan Banten Kidul terdiri dari Cisungsang, Cisitu, Sinar Resmi, Cipta Mulya, Citorek, Cibedug, Cicarucub, Cibadag dan Ciptagelar.

Untuk Baduy, terbagi dalam 2 pemukiman  yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam terdiri dari 3 Kampung (Tangtu Jero) yaitu Cikertawana, Cibeo dan Cikeusik tempat Pu'un (Kepala Suku) dan Hutan Sasakadomas berada. Baduy Luar terdiri dari lebih dari 3 kampung dan tersebar di luar wilayah Baduy Dalam, membentuk pola tapal kuda dan secara alaminya membentengi 3 kampung Baduy Dalam. Cara paling mudah membedakan orang Baduy Dalam dengan Baduy Luar adalah dari warna pakaiannya. Baduy Dalam memakai pakaian warna putih, sedangkan Baduy Luar memakai warna hitam.

Setiap tahunnya, ada tradisi ritual budaya lokal yang sudah turun temurun dilakukan, yaitu Seba Baduy. Sebuah ritual perjalanan yang dilakukan oleh ribuan orang Baduy menuju Rangkasbitung dan Kota Serang dengan membawa berbagai hasil bumi untuk dinikmati para Penggede Lebak dan Banten.

Kebanyakan orang menganggap Seba Baduy merupakan bentuk penghormatan orang Baduy kepada Penggede Lebak dan Banten. Anggapan ini diperkuat dengan berbagai hasil bumi yang dibawa Suku Baduy dan diberikan kepada Penggede sebagai 'seserahan'. Ditambah lagi cara Penggede menerima kedatangan Suku Baduy seperti penguasa dan rakyatnya. Kenyataannya, Seba Baduy merupakan suatu peringatan yang harus disampaikan tiap tahun kepada Penggede di Lebak dan Banten. Ritual perjalanan yang dilakukan dengan jalan kaki, menunjukkan bahwa masih ada sebuah kawasan yang merupakan Pancer Bumi, Pusatnya Bumi dan sampai sekarang terjaga oleh 2 Jaro Tangtu dan 1 Pu'un.

Perkembangan jaman yang serba digital dan teknologi informasi yang terus menyelinap disudut-sudut pelosok negeri, tidak mampu menembus kesakralan Cikertawana, Cibeo dan Cikeusik dengan Hutan Sasaka Domasnya sebagai benteng alam Wewengkon Kanekes. Dengan berjalan puluhan kilo meter tanpa alas kaki sambil membawa berbagai hasil bumi, orang Baduy mengajarkan kita tentang gaya hidup ramah lingkungan sekaligus peringatan bagi Penggede untuk tidak mengeksploitasi alam.

Dengan komposisi penataan ruang dan kearifan lokalnya, masyarakat di Wewengkon Kanekes dan Kasepuhan Banten Kidul memiliki kualitas hidup yang jauh lebih baik dibandingkan di perkotaan atau daerah lainnya, dan memiliki peran yang besar dalam konservasi lingkungan, penanggulangan bencana serta pengembangan ekonomi rakyat. 

Namun sayang, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, telah menghancurkan hampir semua kearifan lokal masyarakat di lereng Pegunungan Kendeng dan Halimun, seperti pembangunan Waduk Karian, Pelebaran Jalan Provinsi ke Citorek dan beroperasinya pabrik semen merah putih. Semuanya mengakibatkan rusaknya benteng-benteng alam dan akhirnya, tahun 2019, terjadilah bencana alam longsor dan banjir bandang di wilayah Kasepuhan Banten Kidul. 

Serang, Wisata Peradaban 3 Zaman

Serang, dalam bahasa Sunda artinya sawah, yaitu tanah yang digarap dan diairi untuk ditanami padi. Pantas saja wilayah yang berada di sebelah Barat Pulau Jawa, sekarang masuk ke dalam Provinsi Banten dan menjadi Ibu Kota Provinsi, disebut Serang karena memiliki bentang alam dan topografi dataran rendah yang sangat ideal untuk menjadi lahan pertanian padi. Wilayah Serang dialiri oleh dua sungai yaitu Ciujung dan Cibanten bagian hilir yang semuanya bermuara di Teluk Banten. 

Sejarah kehidupan manusia, ribuan tahun yang silam, tidak akan lepas dari peranan sungai. Di pesisir sungailah lahir peradaban besar, seperti Mesir dari Sungai Nil, China dari Sungai Huang Ho, India dari Sungai Gangga, Persia dari Sungai Eufrat dan Tigris. Begitu juga dengan Indonesia, seperti Salakanegara, Kutai, Tarumanegara, Banten Girang, Majapahit, Sriwijaya, Pajajaran, Sunda dan Kesultanan Banten. Sungai menjadi titik nadir kehidupan peradaban pada saat itu.

3. Peradaban Zaman Hindu Buddha Banten Girang (932 M - 1525 M)

Banten Girang merupakan sebuah kerajaan besar di Barat Pulau Jawa setelah Salakanagara dan Tarumanegara. Raja terakhirnya adalah Prabu Pucuk Umun, diperkirakan berdiri abad ke-10 dengan pusat pemerintahannya berada sekitar 2 km arah Tenggara Alun-Alun Kota Serang, tepatnya di Kampung Telaya, Desa Sempu, Kelurahan Cipare, Kecamatan Serang, Provinsi Banten. Di sana terdapat jejak Peradaban sebuah Kota Maritim sebelum Islam tepi Sungai Cibanten seperti Pelabuhan, Poros hubungan, Pos Pengawasan di Utara, Wilayah Keraton, Area Banusri di Luar Kota dan Pos Pengawasan di Selatan. 

Pelabuhan Kerajaan Banten Girang, berada di Muara Sungai Cibanten, Teluk Banten atau sekitar 12 km arah Utara pusat pemerintahannya. Pelabuhan inilah yang menjadikan Kebudayaan Banten kemudian semakin berkembang setelah bersentuhan dengan kebudayaan luar. Pengaruh budaya luar tersebut datang dari India dan Tiongkok yang membawa agama Hindu dan Buddha. Di samping membawa pengaruh agama Hindu dan Buddha, masuknya pengaruh India dan Tiongkok juga berdampak pada sistem sosial dan pemerintahan di Nusantara, yang dimulai dari pesisir Barat Pulau Jawa. 

Sebagai poros penghubung antara Pusat Pemerintahan dan Pelabuhan adalah Sungai Cibanten dan dua jalan di kanan kirinya. Kedua jalan itu sudah ada pada masa Banten Girang yang dimulai dari Pelabuhan Timur dan Barat. Keduanya menyusuri Sungai Cibanten ke arah Selatan yaitu ke Gunung Karang, Pulosari dan Aseupan yang merupakan tiga gunung keramat tempat suci dan bersemayamnya para Hyang kerajaan.

Pusat Pemerintahannya berupa wilayah keraton yang berada di tepi Sungai Cibanten bagian hilir. Terpisah dengan Pelabuhan dan tiga gunung keramat. Pola ini sesuai dengan konsep tentang kerajaan yang berasal dari India. Raja yang diangkat menjadi dewa hidup, secara fisik memisahkan diri dari rakyat dan aktivitas perekonomiannya. Wilayah keratonnya terdiri dari Pos Pengawasan atau biasa disebut “Kelunjukan”, tempat melapor para pendatang ke pengawas kerajaan, pintu masuk, tempat suci, tempat pemujaan, gua, bukit, kolam dan alun-alun kota yang pada masa Sultan Ageng Tirtayasa disebut “Tirtalaya atau Telaya” dan terlindung secara alamiah oleh jurang sungai, kolam dan parit. Meskipun di dalam wilayah keraton tidak terdapat jejak bangunan seperti pondasi, bukan berarti tidak memiliki budaya konstruksi bangunan. Hal ini mungkin disebabkan pada saat itu, bangunannya menggunakan material organik seperti kayu dan bambu yang mudah lapuk, rusak dan terurai. Di luar wilayah keraton, terdapat area “Banusri” yang diduga merupakan pasar pusat perekonomian selain aktivitas dagang di pelabuhan.

Meskipun tahun 1525 Kerajaan Banten Girang berakhir dan digantikan dengan Kesultanan Banten, bukan berarti simbol-simbol kerajaannya seperti keraton, pelabuhan dan lain-lain diganti, dihancurkan dan dihilangkan. Semuanya dipertahankan dan dikembangkan termasuk pelabuhannya, bahkan dijadikan sebagai benteng pertahanan Sultan Ageng Tirtayasa waktu melawan penjajah Belanda. Di zaman sekarang, para oligarki itu mewarisi sifat kolonial Belanda dengan mengganti, menghancurkan dan menghilangkan sebuah peradaban Kerajaan Banten Girang. Wilayahnya hanya menjadi situs yang bertambah sempit karena dikavling-kavling oleh para oligarki.

2. Peradaban Zaman Kesultanan Banten (1526 - 1813)

Berbeda dengan konsep peradaban kota Kerajaan Banten Girang yang memisahkan Pusat Pemerintahan dengan Pelabuhan dan Gunung sebagai tempat suci dan keramat, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) menyuruh anaknya Hasanudin meninggalkan Banten Girang dan membangun Kota yang dekat dengan Pelabuhan Kerajaan Banten Girang di pesisir Teluk Banten. 

Tahun 1526, Syarif Hidayatullah merestui Hasanudin untuk membangun Pusat Pemerintahan Kerajaan Islam Banten di sebelah Barat Muara Sungai Cibanten. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada nilai strategis pesisir Teluk Banten sebagai pelabuhan internasional yang disinggahi kapal-kapal dagang dari Bangsa Arab, India, China dan Europa. Sebelumnya, pola yang sama sudah dilakukan oleh Kerajaan Islam Demak dan Cirebon untuk kepentingan maritim dan perdagangan antar pulau serta internasional.

Kawasan Kesultanan Banten merupakan salah satu Peradaban Islam  paling lengkap di Dunia. Pusat kotanya berada sekitar 2 km dari bibir Teluk Banten. Paseban, yang merupakan ruang terbuka seperti Alun-Alun, dijadikan sebagai titik sentral untuk berinteraksi dan bersosialisasi warga dan Kesultanan Banten. Di sekelilingnya terdapat Istana Surosowan sebagai Pusat Pemerintahan, Masjid Agung sebagai Pusat Ibadah Agama Islam, Pasar sebagai Pusat Perekonomian, Pelabuhan sebagai Pusat Perdagangan dan Jasa, Pemukiman dan Pertanian, terutama sawah. Pusat kotanya dibentengi oleh dinding kota Sistem Zigzag.

Penataan kota dan pembangunan infrastrukturnya termasuk permukiman dan pertahanan Kesultanan Banten tidak terlepas dari peran seorang Arsitek keturunan Tionghoa yang bernama Tantseko. Selain sebagai Arsitek, dia juga menjabat sebagai Syahbandar Kerajaan yang diberi nama Kyai Ngabehi Cakradana.

Dibandingkan dengan peradaban sebelumnya, budaya konstruksi bangunan di zaman Kesultanan Banten ini lebih maju dan mencapai masa keemasannya di bawah Sultan Ageng Tirtayasa. Material alam selain kayu dan bambu seperti bata, karang dan batu mendominasi konstruksi bangunan untuk Istana, Benteng, Masjid, Menara, Jalan, Jembatan, Kanal, Kolam dan Sistem Penyaringan Air. Bentuknya pun tidak hanya kotak persegi panjang, beberapa bangunan sudah menggunakan struktuk lengkung yang dipengaruhi oleh bentuk arsitektur Tiongkok. 

Di Kesultanan Banten, ada filosofi penataan kotanya, yaitu : Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis yang memiliki makna penting dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat Banten. Filosofi tersebut menyebutkan bahwa Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis sebagai wujud dari kebijakan Sultan Banten, khususnya pada pemerintahan Sultan Maulana Yusuf (1570-1580) dalam membangun infrastruktur perkotaan, salah satunya adalah benteng pertahanan dengan menggunakan batu bata dan karang (kawis). Wujud kebijakan tersebut menunjukkan sebuah simbol perpaduan harmonis antara gatra alami (karang) dan sosial (batu bata) dengan memanfaatkan geopolitik Kesultanan Banten sebagai kerajaan maritim yang pernah berjaya pada masanya. Semboyan ini merupakan cerminan dari tinggalan intangible Kesultanan Banten sekaligus cerminan kearifan lokal (local wisdom) yang ditransmisikan dari generasi ke generasi ( sumber : GAWE KUTA BALUWARTI BATA KALAWAN KAWIS, SEBUAH KONSEP HISTORIS DAN SIMBOLIS,Tubagus Umar Syarif Hadi Wibowo ).

Meskipun Kesultanan Banten mengalami keruntuhan pasca wafatnya Sultan Ageng Tirtayasa dan awal abad ke-19 simbol-simbol Kesultanan Banten seperti karya arsitektur kotanya dihancurkan oleh Belanda, kita masih bisa menikmati sisa-sisa peninggalannya. Namun sayang, di zaman yang serba digital dan Banten telah menjadi salah satu provinsi yang kaya, penghancuran peradaban itu masih tetap dilakukan. Tahun 2019, para oligarki itu menghancurkan peradaban yang hampir 500 tahun dengan menutup ruang terbuka hijau yang biasa disebut Paseban dengan marmer dan memasang payung-payung. Kanal-kanalnya pun dibentengi beton dan lahan-lahan persawahannya beralih fungsi menjadi kawasan yang katanya untuk mendukung wisata religius.

1. Peradaban Zaman Kolonial Belanda (1813 - 1945)

Kota Serang adalah sebuah Kota yang memang sudah direncanakan oleh Belanda pasca penghapusan dan penghancuran Kesultanan Banten. Letaknya sekitar 10 km dari Pusat Pemerintahan Kesultanan Banten ke arah Selatan. Kawasan Pusat Pemerintahannya berada di hilir pesisir Cibanten. Ada beberapa alasan mengapa lokasi tersebut dipilih oleh Belanda yaitu dekat dengan sumber air, dikelilingi lahan persawahan yang merupakan sumber pangan dan aksesnya mudah, masih dekat dengan Pelabuhan Bantam, bisa melalui jalur Cibanten dan jalan yang dibangun pada masa Gubernur Jendral Daendels. 

Menurut Dr. Mufti Ali, Sejarahwan Banten, Serang sebagai sebuah kota dimulai tahun 1820 sesuai keputusan resmi Ratu Belanda melalui Gubernur Jendral Hindia Belanda G.A.G.Ph. Van Der Capellen (1816 - 1826). Pembangunan kantor-kantor Keresidenan (sekarang menjadi Museum Negeri Banten, Pendopo Kab. Serang dan lain-lain) dimulai tahun 1817, selesai dan mulai difungsikan tahun 1819. Setelah itu dibangunlah fasilitas-fasilitas lainnya seperti alun-alun, tempat ibadah, sekolah, kantor, penjara dan lain-lain. Sehingga, pasca tahun 1820, Serang menjadi wilayah yang paling lengkap untuk disebut kota karena memiliki pusat pemerintahan, alun-alun sebagai meeting point, pasar, sekolah, rumah sakit, rumah ibadah dan penjara. Jadilah Kota Serang sebagai kota terencana dan acuan untuk kota-kota lainnya serta menjadi ciri khas kota yang dibangun Zaman Kolonial. 

Pada zaman itu, batas Kota Serang sebelah Barat adalah Cibanten, Utara adalah Pasar Lama, Timur adalah bangunan yang sekarang digunakan sebagai Mapolres dan sebelah Selatan adalah Benggala. Untuk membangun sebuah kota baru, membutuhkan dana yang sangat besar sekali. Oleh karena itu, Gubernur Hindia Belanda yang kekurangan dana pada saat itu, mendesak para pengusaha Tionghoa untuk berpartisipasi dalam membangun Kota Serang. Sebagai imbalannya, para pengusaha Tionghoa tersebut mendapatkan konsesi lahan perkebunan dalam bentuk hak guna usaha. Konsensi lahan perkebunan tersebut pertama kali dilakukan pada masa Gubernur Jendral Daendels yang mengkonversikan hutan-hutan yang ada di Banten menjadi lahan perkebunan.

Meskipun para pengusaha Tionghoa tersebut tidak semuanya tinggal di Kota Serang, ada juga yang tinggal di Batavia dan sekitarnya, selain jadi donatur, mereka juga ikut andil dalam menggerakkan perekonomian Kota Serang. Tidak heran jika di Kota Serang terdapat Pecinan seperti Kampung Mangga Dua, pusat perdagangan dan jasa seperti Pasar Lama dan Royal serta Petekong atau Vihara tempat ibadah orang Tionghoa.

Guna mendukung perekonomian dan mobilitas di Kota Serang, maka dibangunlah jalur transportasi kereta api dari Batavia ke Rangkas Bitung (1896 - 1899), Rangkas Bitung ke Serang sampai Anyer Lor (1901 - 1905) dan Rangkas Bitung ke Labuan (1905 - 1908). Ada dua stasiun yang dibangun di Kota Serang, yaitu Stasiun Serang dan Karangantu. Sebelumnya, pada masa Gubernur Jendral Daendels (1808 - 1811) dibangun jalan sepanjang 1000 km dari Anyer sampai Panarukan dengan cara kerja paksa. Di Serang, jalan ini berada di jalan Cilegon Serang sampai alun-alun Kramatwatu, kemudian belok kiri di jalan menuju Tasikardi, terus ke jalan menuju Banten Lama dan Karangantu. Dari Karangantu menuju jalan Banten sampai jalan Pangeran Diponegoro, jalan Brigjen K.H. Syamun, jalan Jendral A. Yani, jalan Jendral Besar Soedirman dan jalan Raya Serang Jakarta.

Selain Kampung Pecinan, terdapat juga permukiman yang tumbuh dan berkembang di zaman kolonial ini di sepanjang aliran Cibanten seperti Kampung Kubang, Kaujon, Kaloran, Pekarungan dan Pasar Lama. Dengan beroperasinya Stasiun Serang dan berkembangnya pasar yang lebih modern, Royal namanya, berkembang pula permukiman seperti Kampung Calung, Cilame, Kebon Sayur, Kebon Sawo dan Pegantungan.

Sekarang, Kota Serang telah menjadi ibu kota Provinsi Banten. Namun sayangnya, kota ini sejak zaman kolonial sampai zaman serba digital tidak mengalami kemajuan seperti zaman Kesultanan Banten. Bahkan mengalami kemunduran peradaban dengan cara menghancurkan, mengganti dan menghilangkan bangunan-bangunan cagar budaya. Lagi-lagi dilakukan oleh para oligarki….!

0. Peradaban Zaman Milenial

Inilah penampakan Kawasan Kesultanan Bantam Zaman Milenial yang akan dibangun di tanah-tanah warisan leluhur Sultan Banten. Sebagai upaya membangkitkan kembali kejayaan Kesultanan Banten.









Sumber Reverensi :

“Banten Sebelum Zaman Islam. Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? – 1526” yang ditulis Claude Guillot, Lukman Nurhakim, dan Sonny Wibisono.

“Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII” yang ditulis Claude Guillot.

Wawancara dengan Tokoh Kasepuhan Banten Kidul


Comments

Popular posts from this blog

Pepadone Wong Serang, Kamus Base Jawe Serang

Legenda Desa Gunung Malang

Tanah-Tanah Strategis di Kota Serang